SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 57
وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ وَأَنزَلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ
وَالسَّلْوَى كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَمَا ظَلَمُونَا
وَلَـكِن كَانُواْ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
[
Dan Kami naungi kalian dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu
(makanan yang bernama)
"manna" dan "salwa". Makanlah makanan yang suci itu yang telah Kami anugrahkan kepadamu. Dan tiadalah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.]
1). Masih pada kata
إِذْ (
idz, ketika) yang
keenam.
Di ayat 55 Allah mengingatkan kembali tuntutan mereka untuk melihat
Allah secara kasat mata lalu mereka disambar halilintar. Di ayat 56
Allah mengingatkan bagaimana mereka dihidupkan kembali dari sambaran
halilintar tersebut. Di ayat 57 ini Allah kembali menyebutkan mukjizat
atau kejadian luar biasa berikutnya yang patut Bani Israil ingat selalu.
Yaitu awan yang Allah kirim untuk menanungi mereka di sepanjang
pelarian maratonnya dari kejaran Fir’aun menuju ke Palestina. Seperti
diketahui, setelah mereka menyeberang di Laut Merah, Bersama Musa dan
Harun, mereka harus melintasi medan yang amat berat, yang panas, yang
tandus, yang melelahkan. Tanpa perlindungan.Tanpa bekal makanan. Tanpa
siapa-siapa. Mereka terkepung oleh pemandangan yang mencekam. Yang tanpa
pertolongan-Nya tak akan ada yang bisa bertahan. Di siang hari yang
terik itu, agar perjalanan mereka tetap berlanjut, arak-arakan awan
terus membayanginya sehingga mereka tidak merasakan sengatan matahari
tersebut. Menurut Kitab Keluaran 13: 20-22, gumpalan-gumpalan awan
tersebut juga berfungsi sebagai penuntun untuk sampai ke tujuan. Melalui
ayat 57 ini, Allah mengingatkan mereka bahwa awan tersebut bukan awan
biasa. Awan tersebut adalah awan yang luar biasa. Awan itu kiriman-Nya.
Awan itu naungan-Nya. Awan itu tentara-Nya. Agar mereka terbebas dari
belenggu gurun setelah sebelumnya terbebas dari belenggu Fir’aun. Dan
ternyata ini bukan hanya cerita tentang Bani Israil. Ini juga cerita
tentang kebangkitan di Padang Mahsyar (tempat berkumpul seluruh manusia,
dari manusia pertama hingga manusia terakhir, untuk menunggu keputusan
Tuhan selanjutnya) dimana pada saat itu tidak ada lagi naungan selain
naungan-Nya. “
Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari itu)
melainkan datangnya Allah dan para malaikat (membawa pertolongan) dalam
(bentuk) naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada
Allahlah dikembalikan segala urusan” (2:210) Bahkan Islam kemudian
melestarikan keadaan ini sebagai puncak ibadah haji, dengan mewajibka
seluruh jamaah haji (tua muda, sehat sakit) untuk berkumpul di Padang
Arafah. Dan inilah episode haji yang paling penting, yang tak bisa
digantikan oleh amalan apapun, oleh
dam, oleh
kafarat. “
Al-hajju ‘arafah”
(haji itu adalah Arafah). Haji, dengan begitu, adalah sebuah pembebasan
kolosal Bani Adam dari perbudakan dunia parsial (untuk kembali ke surga
yang dijanjikan), sebagaimana pembebasan kolosal Bani Israil dari
perbudakan diktatorial (untuk kembali ke tanah yang dijanjikan).
2). Selain awan, Allah juga mengirim kepada Bani Israil makanan
langsung dari langit untuk membebaskan mereka dari kelaparan,
sebagaimana Allah mengirim kepada mereka Nabi Musa untuk membebaskan
mereka dari kesesatan. Makanan itu bernama
manna dan
salwa. Apapun arti bahasa dari
manna dan
salwa
ini, tetap tidak merubah substansinya sebagai makanan siap saji sebagai
caranya Allah untuk ‘melayani’ Anak-anak Ya’qub ini dari ancaman
kemusnahan. Agar mereka menyadari dan sekaligus merasakan bahwa
kemuliaan dan keutamaan akan selalu menyertai mereka selama mereka juga
selalu menyertai
Khlaifah Ilahi. Dan selama itu pula janji Allah kepada mereka akan selalu terpenuhi: “
Hai
Bani Israil, ingatlah akan ni`mat-Ku yang telah Aku anugerahkan
kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah mengutamakan kalian
atas seluruh alam.” (2:47) Melalui al-Qur’an, janji Allah ini kemudian diperluas melampaui ambang batas Bani Israil. “
Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
(apabila) mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka disebabkan perbuatan mereka (sendiri).” (7:96) Orang yang
bertakwa niscaya akan mencari dan berkumpul sesamanya orang bertakwa,
sehingga lahirlah komunitas orang-orang bertakwa yang hanya akan
menerima
Khalifah Ilahi sebagai Imam (pemimpin) mereka. Itu sebabnya nama lain dari
Khalifah Ilahi ini ialah
Imamul Muttaqĭn (Imamnya orang-orang bertakwa). Dan untuk mengenal mereka (para
Imamul Muttaqĭn ini), Rasulullah yang tak pernah alpa dalam hal urusan umat ini, memandu kita untuk mengenalnya melalui lantunan doanya: “...
Ya
Tuhan kami, jadikanlah pasangan-pasangan kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan (juga) jadikan (keturunan) kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (25:75) Dan tidak ada satupun dalil umum atau dalil khusus yang bisa menjelaskan bahwa doa Nabi ini tidak terijabah.
3). Setelah Allah memperlihatkan kepada Bani Israil bagaimana Allah
memenuhi jnjinya dengan memberikan keutamaan dan kemuliaan kepadanya
selama mereka berada di belakang
Khalifah Ilahi, Allah kembali menjelaskan bahwa kalau kalian (wahai Bani Israil) berbuat melampaui batas (yaitu berlaku durhaka) terhadap
Khalifah Ilahi tersebut, niscaya murka-Nya akan menimpa kalian. “
Wahai
Bani Israil, sesungguhnya Kami telah menyelamatkan kalian dari musuhmu,
dan Kami telah mengadakan perjanjian denganmu (untuk munajat) di
sebelah kanan gunung itu dan Kami telah menurunkan kepadamu manna dan salwa.
(Maka) makanlah di antara rezki yang baik yang telah Kami berikan
kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan
kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka
sesungguhnya binasalah ia.” (20:80-81) Sebuah larangan dianggap
bermakna apabila pihak yang dilarang kuasa melakukan sebaliknya, yakni
melanggar larangan tersebut. Itu sebabnya, dalam Kitab Suci manapun,
tidak ada larangan kepada manusia makan batu, karena toh tidak ada
kemampuan baginya untuk makan matu. Maka larangan “melampaui batas” di
ayat tadi bermakna karena Bani Israil kuasa melanggarnya. Dan ternyata
memang berkali-kali melanggarnya. Dan pelanggaran itu murni pilihan
sadar mereka, bukan ketetapan dari Allah. Sehingga janji Allah kembali
barlaku kepada mereka: “Tiadalah
Kami mengutus seorang nabi kepada
suatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan Kami
timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka
tunduk dengan merendahkan diri.” (7:94) Maka ketika Bani Israil
melanggar perjanjiannya dengan Allah mereka berfikir merekalah yang
mezalimi Allah dan rasul-Nya. Padahal pada hakikatnya pelanggaran itu
adalah menzalimi diri mereka sendiri. Maka pada saat menimpakan
kemurkaan-Nya kepada mereka, Allah menegaskan: وَمَا ظَلَمُونَا وَلَـكِن
كَانُواْ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ (
wa mā zhalamŭwnā wa lākin kānŭw anfusakum yazhlimŭwn, Dan tiadalah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri).
4). Ayat yang seirama dan semakna dengan ayat ini ialah: “
Dan
mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah
besar dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air
kepadanya: ‘Pukullah batu itu dengan tongkatmu!’. Maka memancarlah
daripadanya duabelas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui
tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan awan di atas mereka dan
Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa. (Kami berfirman); ‘Makanlah
yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezkikan kepadamu’. Mereka
tidak menganiaya Kami, tetapi merekalah yang menganiaya dirinya sendiri.” (7:160)