Rabu, 20 Februari 2013

PENGAJIAN RUTIN JUM`AT MALAM

SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 57

وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ وَأَنزَلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَـكِن كَانُواْ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

[Dan Kami naungi kalian dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu (makanan yang bernama) 
"manna" dan "salwa". Makanlah makanan yang suci itu yang telah Kami anugrahkan kepadamu. Dan tiadalah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.]
  1). Masih pada kata إِذْ (idz, ketika) yang keenam. Di ayat 55 Allah mengingatkan kembali tuntutan mereka untuk melihat Allah secara kasat mata lalu mereka disambar halilintar. Di ayat 56 Allah mengingatkan bagaimana mereka dihidupkan kembali dari sambaran halilintar tersebut. Di ayat 57 ini Allah kembali menyebutkan mukjizat atau kejadian luar biasa berikutnya yang patut Bani Israil ingat selalu. Yaitu awan yang Allah kirim untuk menanungi mereka di sepanjang pelarian maratonnya dari kejaran Fir’aun menuju ke Palestina. Seperti diketahui, setelah mereka menyeberang di Laut Merah, Bersama Musa dan Harun, mereka harus melintasi medan yang amat berat, yang panas, yang tandus, yang melelahkan. Tanpa perlindungan.Tanpa bekal makanan. Tanpa siapa-siapa. Mereka terkepung oleh pemandangan yang mencekam. Yang tanpa pertolongan-Nya tak akan ada yang bisa bertahan. Di siang hari yang terik itu, agar perjalanan mereka tetap berlanjut, arak-arakan awan terus membayanginya sehingga mereka tidak merasakan sengatan matahari tersebut. Menurut Kitab Keluaran 13: 20-22, gumpalan-gumpalan awan tersebut juga berfungsi sebagai penuntun untuk sampai ke tujuan. Melalui ayat 57 ini, Allah mengingatkan mereka bahwa awan tersebut bukan awan biasa. Awan tersebut adalah awan yang luar biasa. Awan itu kiriman-Nya. Awan itu naungan-Nya. Awan itu tentara-Nya. Agar mereka terbebas dari belenggu gurun setelah sebelumnya terbebas dari belenggu Fir’aun. Dan ternyata ini bukan hanya cerita tentang Bani Israil. Ini juga cerita tentang kebangkitan di Padang Mahsyar (tempat berkumpul seluruh manusia, dari manusia pertama hingga manusia terakhir, untuk menunggu keputusan Tuhan selanjutnya) dimana pada saat itu tidak ada lagi naungan selain naungan-Nya. “Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari itu) melainkan datangnya Allah dan para malaikat (membawa pertolongan) dalam (bentuk) naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allahlah dikembalikan segala urusan” (2:210) Bahkan Islam kemudian melestarikan keadaan ini sebagai puncak ibadah haji, dengan mewajibka seluruh jamaah haji (tua muda, sehat sakit) untuk berkumpul di Padang Arafah. Dan inilah episode haji yang paling penting, yang tak bisa digantikan oleh amalan apapun, oleh dam, oleh kafarat. “Al-hajju ‘arafah” (haji itu adalah Arafah). Haji, dengan begitu, adalah sebuah pembebasan kolosal Bani Adam dari perbudakan dunia parsial (untuk kembali ke surga yang dijanjikan), sebagaimana pembebasan kolosal Bani Israil dari perbudakan diktatorial (untuk kembali ke tanah yang dijanjikan).

2). Selain awan, Allah juga mengirim kepada Bani Israil makanan langsung dari langit untuk membebaskan mereka dari kelaparan, sebagaimana Allah mengirim kepada mereka Nabi Musa untuk membebaskan mereka dari kesesatan. Makanan itu bernama manna dan salwa. Apapun arti bahasa dari manna dan salwa ini, tetap tidak merubah substansinya sebagai makanan siap saji sebagai caranya Allah untuk ‘melayani’ Anak-anak Ya’qub ini dari ancaman kemusnahan. Agar mereka menyadari dan sekaligus merasakan bahwa kemuliaan dan keutamaan akan selalu menyertai mereka selama mereka juga selalu menyertai Khlaifah Ilahi. Dan selama itu pula janji Allah kepada mereka akan selalu terpenuhi: “Hai Bani Israil, ingatlah akan ni`mat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah mengutamakan kalian atas seluruh alam.” (2:47) Melalui al-Qur’an, janji Allah ini kemudian diperluas melampaui ambang batas Bani Israil. “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi (apabila) mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka (sendiri).” (7:96) Orang yang bertakwa niscaya akan mencari dan berkumpul sesamanya orang bertakwa, sehingga lahirlah komunitas orang-orang bertakwa yang hanya akan menerima Khalifah Ilahi sebagai Imam (pemimpin) mereka. Itu sebabnya nama lain dari Khalifah Ilahi ini ialah Imamul Muttaqĭn (Imamnya orang-orang bertakwa). Dan untuk mengenal mereka (para Imamul Muttaqĭn ini), Rasulullah yang tak pernah alpa dalam hal urusan umat ini, memandu kita untuk mengenalnya melalui lantunan doanya: “...Ya Tuhan kami, jadikanlah pasangan-pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan (juga) jadikan (keturunan) kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (25:75) Dan tidak ada satupun dalil umum atau dalil khusus yang bisa menjelaskan bahwa doa Nabi ini tidak terijabah.

3). Setelah Allah memperlihatkan kepada Bani Israil bagaimana Allah memenuhi jnjinya dengan memberikan keutamaan dan kemuliaan kepadanya selama mereka berada di belakang Khalifah Ilahi, Allah kembali menjelaskan bahwa kalau kalian (wahai Bani Israil) berbuat melampaui batas (yaitu berlaku durhaka) terhadap Khalifah Ilahi tersebut, niscaya murka-Nya akan menimpa kalian. “Wahai Bani Israil, sesungguhnya Kami telah menyelamatkan kalian dari musuhmu, dan Kami telah mengadakan perjanjian denganmu (untuk munajat) di sebelah kanan gunung itu dan Kami telah menurunkan kepadamu manna dan salwa.  (Maka) makanlah di antara rezki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia.” (20:80-81) Sebuah larangan dianggap bermakna apabila pihak yang dilarang kuasa melakukan sebaliknya, yakni melanggar larangan tersebut. Itu sebabnya, dalam Kitab Suci manapun, tidak ada larangan kepada manusia makan batu, karena toh tidak ada kemampuan baginya untuk makan matu. Maka larangan “melampaui batas” di ayat tadi bermakna karena Bani Israil kuasa melanggarnya. Dan ternyata memang berkali-kali melanggarnya. Dan pelanggaran itu murni pilihan sadar mereka, bukan ketetapan dari Allah. Sehingga janji Allah kembali barlaku kepada mereka: “Tiadalah Kami mengutus seorang nabi kepada suatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri.” (7:94) Maka ketika Bani Israil melanggar perjanjiannya dengan Allah mereka berfikir merekalah yang mezalimi Allah dan rasul-Nya. Padahal pada hakikatnya pelanggaran itu adalah menzalimi diri mereka sendiri. Maka pada saat menimpakan kemurkaan-Nya kepada mereka, Allah menegaskan: وَمَا ظَلَمُونَا وَلَـكِن كَانُواْ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ (wa mā zhalamŭwnā wa lākin kānŭw anfusakum yazhlimŭwn, Dan tiadalah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri).

4). Ayat yang seirama dan semakna dengan ayat ini ialah: “Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah besar dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya: ‘Pukullah batu itu dengan tongkatmu!’. Maka memancarlah daripadanya duabelas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan awan di atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa. (Kami berfirman); ‘Makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezkikan kepadamu’. Mereka tidak menganiaya Kami, tetapi merekalah yang menganiaya dirinya sendiri.” (7:160)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar