Sabtu, 02 Maret 2013

AL BAQOROH AYAT 83

SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 83

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لاَ تَعْبُدُونَ إِلاَّ اللّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسْناً وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلاَّ قَلِيلاً مِّنكُمْ وَأَنتُم مِّعْرِضُونَ
[Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kalian menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. (Tetapi) kemudian kalian berpaling (dari janji tersebut) kecuali sebahagian kecil dari kalian, dan kalian (memang selalu) ingkar.]

1). Ini adalah kata إِذْ (idz, ketika) yang ketigabelas. Ayat 72 hingga ayat 82 adalah bagian dari kata إِذْ (idz, ketika) yang keduabelas, dimana setelah Bani Israil menyaksikan sendiri bagaimana orang yang mereka bunuh hidup kembali setelah dipukulkan kepada mayatnya bagian tubuh sapi betina yang telah mereka sembelih sebelumnya; tetapi setelah kejadian itu, jiwa mereka kembali mengeras, bahkan lebih keras dari batu, sampai mereka mau menulis dan memalsu Kitab Suci seraya mengaku bahwa mereka toh hanya masuk neraka beberapa hari saja. Maka di kata إِذْ (idz, ketika) yang ketigabelas ini, Allah hendak mengingatkan kepada Bani Israil mengenai janji yang lain yang telah mereka ikrarkan di hadapan Allah dan Nabi Musa. Setidaknya ada 5 (lima) isi perjanjian di ayat ini yang telah ‘ditandatangani’ oleh Bani Israil: satu, larangan beribadah selain kepada Allah; dua, perintah berbuat baik kepada kedua orang tua, kerabat, anak yatim, dan orang miskin; tiga, perintah bertutur kata yang baik kepada sesama manusia; empat, perintah mendirikan salat; dan lima, perintah menunaikan zakat. Kelima isi perjanjian ini akan dibahas lebih rinci pada poin-poin berikut ini.


2). Janji yang ke-satu: larangan beribadah selain kepada Allah. Ini pertanda bahwa prinsip pertama dan utama yang Allah ajarkan kepada Bani Israil—dan juga kepada kaum yang lain melalui nabi-nabi yang datang kepadanya—ialah TAUHID (meng-esa-kan Allah). Bahkan melalui Luqman, Allah mengajarkan kita dari mana orang tua seharusnya memulai pendidikan anak-anaknya. “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’. ” (31:13) Di sini Luqman tak hanya melarang anaknya mempersekutukan Allah, tapi sekaligus menyampaikan mengapa larangan itu harus ada. Kata Luqman: “Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. Artinya, inilah induk dari seluruh kezaliman, sehingga tidak mungkin seseorang melakukan kezaliman-kezaliman lainnya—termasuk melakukan ketidakadilan—manakala tidak mempersekutukan Allah sebelumnya.


3). Janji ke-dua: perintah berbuat baik kepada kedua orang tua, kerabat, anak yatim, dan orang miskin. Susunan ini bukan kebetulan. Susunan ini sekaligus menerangkan sekala prioritas dalam berbuat baik kepada manusia. Yaitu bahwa di dalam berbuat baik itu, yang harus diutamakan pertama kali ialah kedua orang tua, ibu dan ayah. “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya klian jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kalian berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kalian mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah membentak mereka serta ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (17:23) Lalu bagaimana kalau di antara kedua orang tua juga harus membuat skala prioritas? Sabda Nabi: ibumu, ibumu, ibumu. Firman Allah: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertamba lemah, lalu menyapihnya dalam dua tahun. (Maka) bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (31:14) Saat Allah menyebut ibu, Dia mengingatkan kita penderitaan demi penderitaan yang dilaluinya demi mengandungkan, melahirkan, dan menyapih anak-anaknya. Setelah orang tua, baru kepada kerabat, anggota keluarga yang lain. Kemudian anak yatim dan orang miskin. Dua yang terakhir oleh Islam bahkan dijadikan sebagai ukuran keberagamaan seseorang: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (107:1-3)


4). Janji ke-tiga: perintah bertutur kata yang baik kepada sesama manusia. Ini penting, karena “lidah tidak bertulang”, sehingga mudah ditekuk sana tekuk sini, lupa kalau jiwa manusia sangat sensitif dalam menangkap hasil olah lidah. Agar jiwa manusia tidak tersinggung karenanya, maka: “Dan apabila sewaktu pembagian (harta waris) itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (4:8) Kesalahan orang lain kepada kita pun tidak boleh menjadi alasan untuk mengumbar kata-kata kasar dan tidak patut kepada mereka. “Dan hamba-hamba ar-Rahman (Tuhan Yang Maha Penyayang) itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang menyejukkan (jiwa).” (25:63) Saat Allah mengutus Musa dan Harun datang kepada Fir’aun, diantara pesan-Nya ialah: “Pergilah kamu berdua kepada Fir`aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan (dengan begitu) ia ingat atau takut.” (20:43-44) Kalau kepada Fir’aun saja diperintahkan bertutur kata yang lemah lembut, lalu bagaimana pula kepada manusia lain yang tidak sejahat Fir’aun?


5). Janji ke-empat: perintah mendirikan salat. Ini menunjukkan bahwa perintah salat juga ada di dalam Taurat yang belum di tahrif. Salat ternyata bukan ibadah yang hanya disyari’atkan kepada umat Muhammad, tapi juga kepada umat-umat sebelumnya. Di dalam Injil Barnabas dikatakan begini: “Kemudian pergilah Yesus beserta murid-muridnya ke padang sahara di belakang Yerden. Maka setelah sembahyang siang, duduklah ia di samping sebuah pohon kurma sedang para murid duduk di bawah naungannya.” (Pasal 163 ayat 1 dan 2) Kepada Nabi Ibrahim, Allah berpesan: “Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini untuk orang-orang yang thawaf, orang-orang yang berdiri, rukuk dan sujud’.” (22:26)


6). Janji yang ke-lima: perintah menunaikan zakat. Kalau salat ialah kewajiban keagamaan yang jatuh pada diri (jiwa dan raga), maka zakat ialah kewajiban keagamaan yang jatuh pada harta. Kesempurnaan jihad (kesungguhan beragama) hanya akan tercapai apabila melibatkan kedua ibadah ini: diri dan harta, salat dan zakat. “Orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (9:20) Salat dan zakat jarang disebut terpisah dalam al-Qur’an, menunjukkan bahwa keduanya memiliki peran yang sama substansialnya. Keduanya juga sudah disebutkan tersendiri di awal kisah Bani Israil ini, yaitu di ayat 43.

Kelima isi perjanjian tersebut merupakan prinsip-prinsip penting di dalam agama samawi. Nabi Musa diutus karena prinsip-prinsip itu sudah ditinggalkan umat nabi sebelumnya. Sayangnya, sepeninggal Nabi Musa, umatnya pun mengulangi kembali jejak umat-umat sebelumnya, yakni merusak ajaran agama sendiri: “(Tetapi) kemudian kalian berpaling (dari janji tersebut) kecuali sebahagian kecil dari kalian, dan kalian (memang selalu) ingkar”.

AL BAQOROH AYAT 80

SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 80

وَقَالُواْ لَن تَمَسَّنَا النَّارُ إِلاَّ أَيَّاماً مَّعْدُودَةً قُلْ أَتَّخَذْتُمْ عِندَ اللّهِ عَهْداً فَلَن يُخْلِفَ اللّهُ عَهْدَهُ أَمْ تَقُولُونَ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
[Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja." Katakanlah: "Sudahkah kalian menerima janji dari Allah (tentang pengakuanmu itu) karena Allah tidak akan pernah memungkiri janji-Nya ataukah kalian hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui?".]



1). Pada pembahasan sebelumnya, dikatakan bahwa ayat yang paling banyak mengandung kata وَيْلٌ (waylun) ialah yang berkenaan dengan “mendustakan hari akhirat”. Orang yang “mendustakan hari akhirat” atau paling tidak “meremehkan hari akhirat” sudah barang tentu “meyakini hanya dunia” ini satu-atunya kehidupan atau setidaknya “mengutamakan kehidupan dunia” daripada kehidupan akhirat. Jikalau cara pandang seperti ini sudah menguasai seseorang, niscaya akan mau melakukan apa saja demi kehidupan dunia, termasuk “menjual agama”, atau bahkan “menulis Kitab Suci”. Inilah yang terjadi pada Bani Israil. Cara pandang mereka ini diungkapkan secara gamblang oleh ayat 80 ini. Dikatakan bahwa mereka tidak merasa risih sedikit pun “memalsu dan menulis Kitab Suci” dengan tangan mereka sendiri karena mereka berprinsip: “Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.”. Cara pandang mereka yang terbaca di penggalan ayat ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa mereka sebetulnya mengakui kalau apa yang mereka kerjakan itu suatu kesalahan besar, yang ganjarannya adalah neraka. Cuma mereka berprinsip bahwa neraka baginya hanyalah tenpat transit sesaat, أَيَّاماً مَّعْدُودَةً (ayyāman ma’dŭwdah, beberapa hari saja). Bagi mereka, neraka itu hanyalah tenpat “cuci-cuci” dosa saja yang tidak ada apa-apanya dibanding dengan keninkmatan dunia yang mereka dapatkan dengan menjual Kitab Suci. Dan prinsip ini bukan hanya berlaku pada mereka yang “memalsu dan menulis Kitab Suci”, tetapi siapa saja yang rela mengorbankan agamanya demi keuntungan duniawi: “Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bahagian dari Kitab Suci, mereka diseru kepada Kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka; tetapi sebahagian dari mereka berpaling, dan mereka selalu membelakangi (kebenaran). Hal itu adalah karena mereka berpsinsip: ’Kami tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali selama beberapa hari saja’. Mereka diperdayakan dalam agama mereka oleh apa yang selalu mereka ada-adakan.” (3:23-24)


2). Keyakinan mereka bahwa tidak akan tersentuh api neraka kecuali beberapa hari saja, tentu mereka bangun menurut falsafah hidup yang mereka pegang. Keyakinan seperti ini tidak hanya ada pada Bani Israil, tapi sepertinya ada pada setiap agama. Kalau keyakinan ini muncul sebagai akibat dari faham positif terhadap agama tersebut, mungkin tidak terlalu bermasalah. Tetapi kalau muncul dari fahaman negatif, masalahnya akan menjadi sangat besar. Karena penganut agama yang berfaham negatif seperti ini pasti akan merasa sangat enteng melakukan pelanggaran-pelanggaran, bahkan termasuk dengan enteng melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan: melakukan korupsi, membunuh orang yang beda faham dengannya, menempatkan kekuatan militer di suatu negara tertentu, menyiksa tawanan politik, dan sebagainya. Mereka melakukan kejahatan itu dengan asumsi neraka akan bersikap penuh kasih kepadanya, karena mereka melakukannya demi menegakkan ‘kebenaran’ agamanya. Mereka lupa bahwa pengakuan Allah inilah yang bisa diterima akal sehat: “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (35:10)


3). Pada pembahasan tentang hujjah (ayat 76), telah dielaborasi bahwa agama itu hujjah, argumen, sehingga agama harus selalu mampu menyodorkan bukti—entah yang rasional entah yang faktual. Setelah Bani Israil memberikan pengakuan bahwa mereka tidak akan tersentuh api neraka kecuali hanya beberapa hari saja, kini giliran Allah meminta klarifikasi kepada mereka dalam bentuk hujjah agar pengakuan itu tidak berhenti sebagai أَمَانِيَّ (amanĭy, angan-angan kosong) belaka saja: “Sudahkah kalian menerima janji dari Allah (tentang pengakuanmu itu) karena Allah tidak akan pernah memungkiri janji-Nya, ataukah kalian hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui?” Kalau sudah, Bani Israil tentu diminta untuk menunjukkannya, yaitu menunjukkan di ayat mana di dalam Kitab Suci janji tersebut termaktub. Permintaan klarifikasi ini menjebak mereka pada buah simalakama. Kalau janji seperti itu benar-benar Allah maktubkan di dalam Kitab Suci, niscaya akan membuka cacat besar bagi Allah, Kitab Suci, dan agama samawi itu sendiri. Yaitu bahwa Allah ternyata tidak pantas menyandang gelar Sang Maha Adil, karena dimana letak keadilan jikalau ada ras atau wangsa tertentu yang yang mendapatkan privilege (keistimewaan) melebihi ras atau wangsa lainnya. Sebaliknya, kalau mereka tidak dapat menunjukkannya, maka bukankah apa yang mereka katakan itu tidak lebih dari أَمَانِيَّ (amanĭy, angan-angan kosong) belaka saja. “Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: ’Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani’. Demikian itu (hanya) angan-angan kosong belaka mereka. Katakanlah: ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kalian adalah orang yang benar’.” (2:111)


4). Ketidakmampuan Bani Israil menunjukkan hujjah, membuktikan bahwa mereka hanya mengatakan sesuatu yang mereka sendiri tidak mengerti. Inilah yang membuktikan bahwa pada saat agama samawi telah mencapai titik dekadennya, ajarannya tinggal dogma belaka saja. Sehingga bisa dibalik begini; apabila suatu agama diajarkan secara dogmatik, maka itu pertanda yang sangat jelas bahwa di sana ada dekadensi yang disembunyikan. Setiap kepalsuan selalu tidak tahan terhadap pertanyaan-pertanyaan rasional. أَمْ تَقُولُونَ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ (am taqŭwlŭwna ‘alallahi mā lā ta’lamŭwn, ataukah kalian hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui (tidak ber-ILMU tentangnya)?). Melalui ayat ini, Allah ingin mengajarkan kita bahwa setiap yang namanya kepalsuan selalu tidak berhak menyandang predikat “ILMU”. Kalau dibalik, poposisi ini mengatakan: setiap yang bukan ILMU pasti kepalsuan. Itu sebabnya setiap sistem pemikiran yang dibangun tidak dasar ILMU, Allah samakan dengan bangunan sarang laba-laba; kelihatan indah, tapi teramat sangat rapuh. “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui (ber-ILMU). Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang mereka seru selain Allah. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang ber-ILMU.” (29:41-43) Semesta ciptaan-Nya disebut ALAM karena seluruh entitas yang ada padanya dan hukum-hukum yang mengatur entitas-entitas itu merupakan obyek-obyek fikiran yang membuat orang ber-ILMU. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang ber-ILMU.” (30:22)

DO`A QUNUT ADALAH SUNNAH NABI


As-habur ro`yi :

HADITS TENTANG QUNUT DALAM AS-SUNAN AL KUBRO
باب الدليل على انه لم يترك اصل القنوت في صلوة الصبح انما ترك الدعاء لقوم أو على قوم آخرين باسمائهم أو قبائلهم
Bab Tentang Dalil Bahwa Rasulullah Tidak Pernah Meninggalkan Asal Qunut Pada Shalat Shubuh, Sesungguhnya Yang Rasulullah Tinggalkan Adalah Do’a Bagi Sebuah Kaum atau Atas Kaum Yang Lainnya Dengan Nama Mereka dan Nama Kabilah Mereka

اخبرنا أبو عبد الله محمد بن عبد الله الحافظ انبأ أبو عبد الله محمد بن عبد الله الصفار ثنا احمد بن مهران الاصبهاني ثنا عبيدالله بن موسى انبأ أبو جعفر الرازي عن الربيع بن انس عن انس ان النبي صلى الله عليه وسلم قنت شهرا يدعو عليهم ثم تركه فاما في الصبح فلم يزل يقنت حتى فارق الدنيا
…dari Rabi’ bin Anas, dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam berqunut selama sebulan, beliau berdo’a atas mereka (kaum kafir), kemudian beliau meninggalkannya, adapun pada shalat shubuh, beliau tidak pernah meninggalkannya qunut hingga beliau berpisah dari dunia (wafat)                                                                                                                                             

واخبرنا أبو عبد الله الحافظ انبأ بكر بن محمد الصيرفى بمرو ثنا احمد بن محمد بن عيسى ثنا أبو نعيم ثنا أبو جعفر الرازي عن الربيع بن انس قال كنت جالسا عند انس فقيل له انما قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم شهرا فقال ما زال رسول الله صلى الله عليه وسلم يقنت في صلوة الغداة حتى فارق الدنيا
… mengabarkan kepada kami Abu Nu’aim, mengabarkan kepada kami Abu Jakfar ar-Raziy, dari Rabi’ bin Anas , ia berkata : “Aku duduk disisi Anas, maka seseorang berkata kepadanya (kepada Anas), sesungguhnya Qunut Rasulullah adalah sebulan”, maka Anas berkata : “tiada Rasulullah pernah meninggalkan qunut pada shalat shubuh hingga beliau wafat”.

اخبرنا أبو عبد الله الحسين بن الحسن المخزومى الفضائري ببغداد ثنا عثمان بن احمد بن السماك ثنا أبو قلابة عبد الملك بن محمد الرقاشى ثنا قريش بن انس ثنا اسمعيل المكي وعمرو بن عبيد عن الحسن عن انس بن مالك قال قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم وابو بكر وعمر وعثمان رضى الله عنهم واحسبه قال رابع حتى فارقهم
…dari Anas bin Malik, ia berkata : “Rasulullah berqunut dan Abu Bakar, Umar, Utsman –radliyallahu ‘anhum- juga berqunut dan aku menghitungnya. Rabi’ berkata : “sampai aku meninggalkan mereka                                                                                                                          .
فمنها ما اخبرنا أبو عبد الله الحافظ ثنا على بن حمشاذ العدل ويحيى بن محمد بن عبد الله العنبري قالا ثنا أبو عبد الله محمد بن ابراهيم العبدى ثنا عبد الله بن محمد النفيلى ثنا خليد بن دعلج عن قتادة عن انس بن مالك رضى الله عنه قال صلت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم فقنت وخلف عمر فقنت وخلف عثمان فقنت
...dari Qatadah, dari Anas bin Malik-radliyallahu ‘anh-, ia berkata : “aku shalat dibelakang Rasulullah maka beliau berqunut, aku shalat dibelakang Umar maka beliau berqunut dan aku shalat dibelakang  Utsman maka beliau berqunut”                                         .

ومنها ما اخبرنا أبو سعيد المالينى انبأ أبو احمد بن عدى الحافظ ثنا الشافعي ثنا بندار ثنا يحيى بن سعيد ثنا العوام بن حمزة قال سألت ابا عثمان عن القنوت في الصبح قال بعد الركوع قلت عمن قال عن ابى بكر وعمر وعثمان رضى الله عنهم
….mengabarkan kepada kami al-‘Awwam bin Hamzah, ia berkata : “aku bertanya kepada Abu Utsman tentang qunut shubuh, ia berkata : “berqunut setelah ruku’”, aku berkata : “dari siapa ?” ia berkata : “dari Abu Bakar, Umar dan Utsman –radliyallahu ‘ahum”.                        

واخبرنا أبو سعيد يحيى بن محمد بن يحيى الخطيب انبأ أبو بحر محمد بن الحسن البربهارى ثنا بشر بن موسى ثنا الحميدى ثنا سفيان حدثنى مخارق عن طارق قال صليت خلف عمر الصبح فقنت
…mengabarkan kepadaku Mahariq dari Thariq, ia berkata : “aku shalat shubuh dibelakang Umar, ia berqunut”.                                                        

وباسناده ثنا الحميدى ثنا يحيى بن سليم عن اسمعيل بن امية عن عطاء عن عبيد بن عمير قال سمعت عمر يقنت ها هنا في الفجر بمكة
…dari Ismail bin Umayyah, dari Atha’, dari Ubaid bin Umair, ia berkata :”aku mendengark Umar berqunut disana pada shalat shubuh di Makkah”                             

واخبرنا أبو عبد الله الحافظ انبأ أبو بكر محمد بن احمد بن بالويه ثنا احمد بن بشر المرثدى ثنا على بن الجعد انبأ شعبة قال واخبرني الحسين بن على الدارمي ثنا محمد بن اسحاق هو ابن خزيمة ثنا محمد بن بشار ثنا محمد بن جعفر ثنا شعبة عن حماد عن ابراهيم عن الاسود قال صليت خلف عمر بن الخطاب رضى الله عنه في السفر والحضر فما كان يقنت الا في صلوة الفجر *
..mengabarkan kepada kami Syu’bah, dari Hammad, dari Ibrahim, dari al-Aswad, ia berkata : “aku shalat dibelakang Umar bin Khaththab –radliyallahu ‘anh- diperjalanan dan hadlir (di kampung), maka tidaklah Umar berqunut kecuali pada shalat shubuh”.                  

وقد اخبرنا أبو عبد الله الحافظ وابو سعيد بن ابى عمر وقالا ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا اسيد بن عاصم ثنا سعيد بن عامر ثنا عوف عن ابى عثمان النهدي قال صليت خلف عمر رضى الله عنه ست سنين فكان يقنت
..dari Abi Utsman an-Nahdli, ia berkata “ aku shalat dibelakang Umat selama 6 bulan dan beliau berqunut”.

اخبرنا أبو الحسن محمد بن على بن خشيش التميمي المقرى بالكوفة انبأ أبو اسحاق ابراهيم بن عبد الله الازدي ثنا احمد بن حازم بن ابى غرزة انبأ عبيدالله بن موسى عن سفيان عن ابى حصين عن عبد الله بن معقل قال قنت على رضى الله عنه في الفجر
..dari Sufyan, dari Abi Hashin, dari Abdullah bin Ma’qal, ia berkata : “’Ali –radliyallahu ‘anh berqunut pada shalat shubuh”                                                   .

واخبرنا أبو نصر بن عبد العزيز بن قتادة انبأ أبو الحسن محمد بن الحسن بن اسمعيل السراج ثنا عبد الله بن غنام ثنا على بن حكيم انبأ شريك عن مطر بن خليفة عن حبيب بن ابى ثابت عن عبد الرحمن بن سويد الكاهلى قال كانى اسمع عليا رضى الله عنه في الفجر حين قنت وهو يقول اللهم انا نستعينك ونستغفرك *
…dari Habib bin Abi Tsabit, dari Abdurrahman bin Sawaid al-Kahili, ia berkata : “seakan-akan aku mendengar ‘Ali –radliyallahu ‘anh- pada shalat shubuh ketika berliau berqunut berdo’a : “ya Allah sesungguhnya kami meminta pertolongkan kepada Engkau dn kami memohon ampun kepada Engkau”.                                             


اخبرنا الامام أبو الفتح العمرى انبأ عبد الرحمن الشريحى ثنا أبو القاسم البغوي ثنا على بن الجعد انبأ شريك عن عثمان بن ابى زرعة عن عرفجة قال صليت مع ابن مسعود رضى الله عنه صلوة الفجر فلم يقنت وصليت مع على فقنت
…dari Utsman bin Abi Zar’ah, dari Arfajah, ia berkata : “aku shalat bersama Ibnu Mas’ud –radliyallahu ‘anh- yaitu shalat shubuh, maka beliau tidak berqunut dan aku shalat bersama ‘Ali, maka beliau berqunut”.                                                


اخبرنا أبو عبد الله الحافظ وابو سعيد بن ابى عمرو قالا ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا محمد بن اسحاق انبأ سعيد هو ابن عامر عن عوف عن ابى رجاء قال صلى ابن عباس صلوة الصبح في هذا المسجد فقنت وقرأ هذه الآية وقوموا لله قانتين *
….dari ‘Auf, dari Abi Raja’, ia berkata : “Ibnu ‘Abbas shalat yaitu shalat shubuh di masjid ini, beliau berqunut dan membaca ayat ini”                                                                                                      

AL BAQOROH AYAT 82

SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 82

وَالَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ أُولَـئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
[Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.]
1). Huruf و (wawu) di awal ayat yang berfungsi sebagai ‘athaf (penyambung) menunjukkan bahwa ayat ini adalah sambungan dari ayat sebelumnya. Kalau ayat sebelumnya menegaskan siapa saja yang pantas masuk ke dalam neraka, maka ayat ini mengungkapkan sebaliknya, yakni siapa saja yang layak masuk ke dalam surga. Dan kriteria masuk surga ternyata tidak banyak. Cuma dua macam: beriman dan beramal saleh. Untuk memahami makna keberimanan di sini, mari kita kembali ke ayat yang lalu tentang orang-orang yang akan menjadi penghuni neraka. Dikatakan, seseorang akan menjadi penghuni neraka manakala kesalahannya telah meliputi dirinya: وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيـئَتُهُ (wa ahāthat bihi khathĭy’atuhu, dan dia telah diliputi oleh kesalah-kesalahannya). SALAH itu adalah hasil penilaian; dan penilaian itu berangkat dari keyakinan. Kita mengatakan sesuatu itu SALAH apabila kita yakin bahwa sesutu itu TIDAK BENAR. Kita menilai sesuatu itu BENAR jikalau kita yakin bahwa sesuatu tersebut TIDAK SALAH. Artinya, disebut SALAH manakala di dalam dirinya tidak mengandung kebenaran; dan disebut BENAR manakala di dalam dirinya tidak lagi mengandung kesalahan. Maka, orang yang telah diliputi oleh kesalahan-kesalahannya pada dasarnya telah diliputi oleh hal-hal yang tidak BENAR, yang menyebabkan dirinya pantas menjadi penghuni neraka. Sebaliknya, orang yang beriman adalah orang yang diliputi oleh hal-hal yang BENAR, yang menyebabkan dirinya pantas menjadi penghuni surga. Bisa disimpulkan, neraka ialah tempatnya orang yang SALAH, sementara surga ialah tempatnya orang yang BENAR. Perhatikan, betapa pentingnya yang namanya “keyakinan” dalam menentukan nilai BENAR dan SALAH. Pertanyaannya, di pondasi manakah berdirinya keyakinan itu, sehingga kita memiliki keyakinan bahwa yang ini SALAH dan yang itu BENAR? Atau lebih tepatnya, apa dasar keyakinan kita itu sehingga berani mengatakan ini SALAH dan itu BENAR? Jawabannya: hukum aqal (yang berlaku universal dan karenanya sama pada semua orang). Dengan demikian, iman dikatakan benar apabila berangkat dari keyakinan yang bisa dipertanggungjawabkan secara aqliyah (rasional). Bahkan kebenaran dalil-dalil naqli (nas-nas keagamaan) pun harus bisa diverifikasi oleh hukum aqli ini. Kalau ada dalil-dalil naqli yang tidak lolos verifikasi hukum aqli, itu pasti أَمَانِيَّ (amanĭy, angan-angan kosong) yang dibuat-buat oleh manusia biasa, yang cepat atau lambat pasti akan mengalami kadaluarsa dan dekadensi. Iman yang benar tidak mungkin bersandar pada أَمَانِيَّ (amanĭy, angan-angan kosong). Karena yang BENAR sandarannya Allah, yang SALAH sandarannya Thaghut. “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); (karena) sungguh telah jelas (bahwa) jalan yang benar (lebih baik) daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (penilaian yang SALAH) kepada cahaya (penilaian yang BENAR). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya (penilaian yang BENAR) kepada kegelapan (penilaian yang SALAH). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (2:256-257)

2). Kriteria kedua ialah “amal saleh”. Penempatan amal saleh selalu di belakang kata “iman” menunjukkan bahwa disebut amal saleh apabila amal tersebut refleksi dari iman yang benar. Jika imannya salah, yang muncul ke permukaan juga “amal salah”. Karen iman ialah motor penggerak perbuatan, tukang perintah pelaksanaan eksekusi, sehingga corak perbuatan sangat tergantung pada corak iman. “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kalian dan Kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya berfirman): ‘Peganglah kuat-kuat apa yang Kami berikan kepadamu dan simaklah!’ Mereka menjawab: ‘Kami mendengarkan tetapi (kami) tidak (akan) mentaati’. Dan telah diresapkan ke dalam qalbu mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah: ‘Alangkah buruknya perbuatan yang diperintahkan iman-mu kepadamu jika kalian benar-benar beriman (kepada Taurat)’.” (2:93) Amal yang didorong oleh iman yang benar inilah yang menyebabkan pelakunya mengarungi bahtera kehidupannya dengan penuh kesucian, ketenangan, dan kebahagiaan. Artinya, setiap tindakannya membawanya kepada kehidupan yang suci, tenang, dan bahagia. “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang suci dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (16:97) Dan orang yang hidupnya seperti ini (suci, tenang, bahagia), kelak di saat wafatnya disambut oleh malaikat dengan ucapan “selamat” sebelum dimasukkan ke dalam surga. “Orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan suci, (para malaikat tersebut) berkata (kepada mereka): ‘Salaamun ’alaikum, masuklah kalian ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kalian kerjakan (dulu di dunia)’.” (16:32)

3). Nilai iman dan amal saleh berbuntut pada nilai orang beriman dan orang saleh. Karena nilai iman di sisi Allah begitu tingginya (ingat, BENAR itu sandarannya Allah), maka nilai orang beriman juga begitu tingginya. Ini gampang difahami dengan pengertian bahwa tidak ada pembicaraan soal iman kalau tidak ada orang yang beriman. Sebagaimana tidak ada perbuatan saleh kalau tidak ada orang saleh. Maka masuk akal apabila menyakiti hati orang beriman, Allah mengihtungnya sebagai dosa besar. “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka (yang menyakiti) telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (33:58) Puncak keberimanan dan kesalehan—selain Nabi—ada pada wali-wali Allah. Maka kalau menyakiti hati orang mukmin saja begitu besar dosanya, lalau bagaimana pula jikalau menyakiti hati para wali ini. Saat menukil ayat ini di dalam Riyadhus Shalihin-nya, saat membahas dilarangnya menyakiti orang-orang saleh (para wali), Imam Nawawi menjelaskan bahwa hadits tentang masalah ini sangat banyak, diantaranya: “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Sesiapa memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya. Seorang hamba (yang saleh) senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan yang paling Aku cintai, yaitu apa-apa yang Aku wajibkan kepadanya. Juga hamba-Ku (tersebut) mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah hingga Aku mencintainya. (Maka) jika Aku mencintainya, Aku adalah pendengarannya yang digunakan untuk mendengar, (Aku adalah) penglihatannya yang digunakan untuk melihat, (Aku adalah) tangannya yang digunakan untuk berbuat, (Aku adalah) kakinya yang digunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, niscaya Aku memberinya. Dan jika dia berlindung kepada-Ku, niscaya Aku melindunginya’.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah ra) Di sinilah para wali menemukan karamah dan sakralitasnya. Begitu sakralnya, sampai Nabi bersabda kepada Abu Bakar ra, “Hai Abu Bakar, jika kamu membuat mereka (para wali-Ku itu) marah berarti kamu membuat Tuhanmu (juga) marah.” (dikutip dari Riyadhus Shalihin).

4). Penutup ayat ini sama dengan penutup ayat sebelumnya. Bedanya, di ayat sebelumnya tentang penghuni neraka, sementara di ayat ini tentang penghuni surga. Tetapi sama-sama menggunakan isim isyārah (kata tunjuk) أُولَـئِكَ (ulāika, mereka itulah): أُولَـئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (ŭlāika ashhābul jannati ɦum fĭyɦa khālidŭwn, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya). Jadi sama-sama ingin mempertegas mana penghuni neraka dan mana penghuni surga. Sehingga keduanya jelas tidak sama. “Tidak sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga ialah orang-orang yang beruntung.” (59:20) Sebagaimana tidak samanya antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui, “Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (39:9) Sebagaimana tidak samanya orang yang melihat dan orang yang buta, antara cahaya dan gelap, antara teduh dan terik, antara hidup dan mati, “Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya. Dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas. Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati....” (35:19-22) Allah selalu menyamakan orang beriman dan beramal saleh dengan terma-terma positif tadi: “Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidaklah (pula sama) orang-orang yang beriman serta beramal saleh dengan orang-orang yang durhaka. (Sayangnya) sangat sedikit kalian mengambil pelajaran.” (40:58)

5). Untuk mendalami ayat ini, disarankan membaca juga ayat 3, 38 dan 62. Yang perlu ditambahkan di sini ialah bahwa surga dan neraka sebetulnya implementasi dari reward (imbalan) dan punishment (hukuman) Allah swt untuk orang yang BENAR dan orang yang SALAH, dan sebagai dua sayap edukasi. Tanpa keduanya, pendidikan tidak akan jalan. Dan tanpa pendidikan, manusia tidak akan jadi ‘manusia’.

AL BAQOROH AYAT 81

SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 81

بَلَى مَن كَسَبَ سَيِّئَةً وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيـئَتُهُ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
[(Bukan demikian), yang benar (ialah), sesiapa melakukan keburukan dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, (dan) mereka kekal di dalamnya.]

1). Inilah sikap rasional al-Qur’an. Neraka bukanlah tempat transit sementara dan sesaat yang kemudian membuat kita mengentengkan perbuatan dosa, apalagi kalau dosa itu berkenaan dengan memalsu dan menulis Kitab Suci kemudian memberi label “ini dari Allah” atau melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ayat ini dimulai dengan kata بَلَى (balā), yang mengindikasikan bahwa kandungannya merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya. Secara bahasa disebutkan, بَلَى (balā) adalah huruf jawab (jawaban) yang datang setelah nafi (negasi) yang tujuannya ialah menetapkan (itsbāt) atas jawaban tersebut. Bisa dikatakan bahwa بَلَى (balā) dimaksudkan untuk memberikan jawaban sangkal terhadap pengakuan negatif sebelumnya. Di ayat sebelumnya, Bani Israil mengklaim لَن تَمَسَّنَا النَّارُ إِلاَّ أَيَّاماً مَّعْدُودَةً (lan tamassanan-nāru illā ayyāman ma’dŭdah, Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja). Perhatikan kata لَن (lan) di awal pengakuan, yang berfungsi sebagai taukĭd (penguat) untuk menegasikan anggapan lain dari lafazh yang di-taukĭd-kan. Jadi huruf لَن (lan) di sini adalah maklumat untuk menolak semua kemungkinan (dosa-dosa) yang bisa membuat mereka (Bani Israil) masuk neraka kecuali beberapa hari saja. Tetapi kemudian datang kata بَلَى (balā) untuk menyangkal maklumat tersebut, bahwa maklumat itu tidak benar adanya, dan sekaligus menyampaikan jawaban yang benar. Sehingga kata بَلَى (balā) bisa diartikan sebagai “bukan begitu, tetapi yang benar ialah...” Yaitu bahwa pengakuan kalau mereka “sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja” itu tidak benar. Allah menjawab: “(Itu tidak benar), yang benar (ialah), sesiapa melakukan keburukan dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, (dan) mereka kekal di dalamnya”. Jawaban Allah inilah yang paling rasional. Yakni bahwa neraka itu tidak pilih kasih. Pokoknya siapa saja, dari kalangan mana saja, ras dan wangsa apa saja, kalau melakukan dosa dan dosanya telah meliputi atau menguasai dirinya, maka nerakalah tempat tinggalnya dan kekal di sana.


2). Kalau neraka tidak tebang pilih, lalu siapa saja yang akan menjadi ‘target operasinya’? Ini penting sebab azab neraka bukan main-main. Nabi pernah mengatakan bahwa serendah-rendahnya tingkatan neraka ialah yang di dalamnya sendal penghuninya terbuat dari besi yang kalau diinjak, panasnya membuat otak di kepala mendidih. “Dan siapa saja yang (datang kepada Allah dengan) membawa kejahatan, maka disungkurkanlah muka mereka ke dalam neraka. Tiadalah kalian dibalasi, melainkan (setimpal) dengan apa yang dahulu kalian kerjakan.” (27:90)  Bahkan pelaku keburukan ini sebelum di azab di neraka, Allah  mengancamnya untuk menimpakan kepadanya juga azab di dunia. “Maka apakah orang-orang yang membuat makar yang buruk itu, merasa aman (dari azab) dengan ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari. Atau Allah mengazab mereka di waktu mereka dalam perjalanan, maka sekali-kali mereka tidak dapat menolak (azab itu). Atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa). Maka sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (16:45-47) Jadi perbuatan kejahatan dan keburukan tidak boleh dientengkan, sekecil apapun itu. Tidak ada kejahatan yang Allah biarkan berlalu begitu saja. Semua direkam dan akan dibalisinya. “Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari (azab) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu.” (29:4) Allah Maha Adil, sehingga tidak mungkin memperlakukan sama antara pelaku keburukan dan pelaku kebaikan. “Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (45:21) Dan ayat berikut ini mengisyaratkan bahwa azab neraka sebagai balasan atas keburukan yang pelaku kejahatan atau keburukan lakukan tidak akan bisa ditebus dengan apapun. “Dan sekiranya orang-orang yang zalim mempunyai apa yang ada di bumi semuanya dan (ada pula) sebanyak itu besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu dari siksa yang buruk pada hari kiamat. Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya.” (39:47-48)


3). Di sini Allah tidak berbicara dosa dalam pengertian dzanbun atau itsmun—yang lazim digunakan al-Qura’an berkenaan dengan dosa manusia—tetapi Dia menggunakan kata خَطِيـئَتُهُ (khathi’atuhu) yang secara harafiyah bermakna “kesalahan-kesalahan-nya”. Maka makna yang sesungguhnya dari anak kalimat وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيـئَتُهُ (wa ahāthat bihi khathĭy’atuhu, dan dia telah diliputi oleh kesalah-kesalahannya) ialah seseorang yang telah dikuasai oleh sifat-sifat buruknya sehingga yang terefleksi dari perkataan dan perbuatannya sehari-hari mayoritasnya adalah kesalahan dan kejahatan, dan hampir tidak ada kebenaran lagi. Ingat, Allah disebut Maha Meliputi karena Dia adalah al-Muhĭyth (satu asal kata dengan “ahāthat”). Seseorang melakukan dosa, baik dalam pengertian dzanbun ataupun itsmun manakala orang tersebut SALAH dalam menentukan haq dan bathil. Apabila yang haq disebut bathil, secara otomatis yang bathil pun disebutnya haq. Itu sebabnya, para pelaku kejahatan besar terkadang disebut bahwa azab atasnya adalah sebagai akibat dari kesalahan-kesalahannya. “...Sesungguhnya Fir`aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang salah.” (28:8) Saudara-saudara Yusuf yang berkonspirasi membuangnya ke dalam sumur untuk membunuhnya, pasti melakukan kejahatan besar. Tetapi al-Qur’an menggunakan kata “kesalahan”. “Mereka (saudara-saudara Yusuf) berkata: ‘Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami atas dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang salah (berdosa)’.” (12:97) Seorang istri yang menggoda (apalagi memaksa) lelaki lain untuk diajak berhubungan ‘intim’ tentulah dosa besar, tetapi al-Qur’an lagi-lagi menggunakan kata “SALAH”. “(Kata suami wanita itu) Wahai Yusuf: ‘Lupakanlah (kejadian) ini dan (kamu wahai istriku) mohon ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang yang berbuat salah’.” (12:29) Apabila kesalahan-kesalahan ini telah menguasai seseorang, bisa dipastikan keburukan dan kejahatan, dzanbun dan itsmun, pun menguasai keputusan-keputusan dan perbuatan-perbuatannya, sehingga sangat pantas baginya neraka. Siapa pun orangnya, tanpa membedakan ras dan wangsanya, Bani Israil atau Bani Adam lainnya.


4). Ketika menyebut neraka, Allah menyebut penghuni yang masuk di dalamnya sebagai kekal. “.... mereka itulah penghuni neraka, (dan) mereka kekal di dalamnya”. Tentang pengertian kekal di surga atau di neraka, telah kita bahas di ayat 25 poin 4 (silahkan rujuk ke sana). Yang jelas penggunaan kata فَأُوْلَـئِكَ (fa-ulāika, maka mereka itulah) di penggalan akhir ayat ini menunjukkan bahwa Allah hendak memperkenalkan (dengan maksud membatasi ruang lingkup) bahwa orang-orang—yaitu orang-orang yang telah diliputi oleh kesalahan-kesalahannya—yang seperti itulah kelak yang akan menjadi penghuni api neraka. Pembatasan defenisi dengan menunjuk pada ruang lingkup tertentu inilah yang—dalam ilmu Bahasa—disebut muqayyad.

Jumat, 01 Maret 2013

KAJIAN TAFSIR

SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 79

فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَـذَا مِنْ عِندِ اللّهِ لِيَشْتَرُواْ بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً فَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَّهُمْ مِّمَّا يَكْسِبُونَ
[Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Kitab Suci dengan tangan mereka sendiri, lalu mengatakan: "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.]
  1). Usai berbicara soal agama samawi yang dirusak melalui angan-angan kosong, kini Allah mengingatkan bahwa angan-angan kosong itu bahkan ditulis dan dimasukkan sebagai bagian dari Kitab Suci. Tidak tanggung-tanggung, di ayat ini al-Qur’an menggunakan kata وَيْلٌ (waylun) sebanyak 3 (tiga) kali, terbanyak di sepanjang ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan kata ini. Pada umumnya kata وَيْلٌ (waylun) hanya muncul sekali saja. Padahal satu kata وَيْلٌ (waylun) saja sudah cukup membuat bulu kuduk merinding. Betapa tidak, al-Mu’jam al-Wasĭth memberi makna umum kata وَيْلٌ (waylun) ini dengan “solusi paling buruk”; sedangkan penulis tafsir al-Wajĭz li-Kitabillahil-‘Azĭz memberi pengertian umum dengan “azab yang keras”. Kemudian makna umum ini dirinci lagi menjadi dua makna seperti yang sering dipakai di terjemahan-terjemahan. Makna pertama, ialah “kecelakaan besar”, yang oleh para penerjemah Bahasa Inggeris disamakan dengan kata “woe” yang bisa berarti “kutukan” atau “ksengsaraan”. Makna kedua, ialah “sebuah lembah Neraka Jahannam”; makna ini diambil dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan al-Hakim, dimana Nabi bersabda: “al-Wayl adalah sebuah lembah di Neraka Jahannam, yang orang kafir akan jatuh ke dalamnya selama 40 tahun sebelum mencapai dasarnya.”
Selanjutnya, kata وَيْلٌ (waylun) ini kebanyakan dikaitkan dengan “kafir, musyriq, zhalim” (14:2, 19:34, 38:27, 41:6, 43:65, 51:60), “keras kepala” (39:22), “pengumpat dan serakah” (104:1-3), “mendustakan hari akhirat” (52:11; 77:15,19,24,28,34,37,40,45,47,49; 83:10), “kecurangan” (83:1-3), dan “lalai dari sifat salat” (107:4). Dari kategori ini kita bisa melihat bahwa kata وَيْلٌ (waylun) paling banyak adalah ayat yang berekenaan dengan “mendustakan hari akhirat”, karena semua kategori lainnya bermula dari sini. Tetapi semua kategori tadi pada dasarnya sejalan dengan ayat 79 ini. Karena hanya mereka yang memiliki semua kategori itulah agaknya yang memiliki keberanian untuk mengubah Kitab Suci. “Kecelakaan besarlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. (Yaitu) orang yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” (104:1-3)


2). Ketiga kata وَيْلٌ (waylun) di ayat ini diikuti oleh kata kerja yang hampir sama. Dua kata وَيْلٌ (waylun) yang pertama mengaitkan hukuman itu sebagai akibat dari “perbuatan tangan” (yang pertama bentuk berkelanjutan atau present continuous, yang kedua dalam bentuk lampau), dan yang lainnya mengaitkannya dengan “perbuatan” dalam pengertian umum, tanpa ada kata “tangan” di belakangnya. Penggunaan kata “tangan” di sini, selain bisa bermakna simbolik—yang berarti perbuatan itu dilakukan dengan sengaja—juga bisa bermakna hakiki—yang berarti bahwa mereka memang telah melakukan pemalsuan terhadap Kitab Suci dengan cara menghapus dan mengubah sebahagian, lalu sebahagiannya lagi mereka tulis dengan tangan mereka sendiri kemudian dideklarasikan melalui pernyataan sakral: هَـذَا مِنْ عِندِ اللّهِ (ɦādza min ‘indillah, ini dari Allah). Jelas ini adalah kebohongan besar. Kebohongan sendiri sudah besar dosanya, apalagi kalau yang kita jual dalam kebohongan itu ialah nama Allah. Dan yang tertipu di sini bukan hanya satu dua orang, tapi berjuta-juta. Bukan hanya satu generasi, tapi hingga generasi akhir zaman.
Sedangkan “perbuatan” yang tidak disertai kata “tangan” bermakna bahwa tulis-menulis Kitab Suci tersebut adalah sebuah upaya sistematis, terstruktur, dan terencana dengan baik. Tindakan ini meniscayakan berkumpulnya unsur-unsur ini: “penulis”, “konseptor”, “aktor intelektual”, dan “penyandang dana”. Mereka inilah yang ‘bekerja keras’ bahu-membahu untuk melahirkan sebuah Kitab Suci yang diklaim berasal dari Allah. “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (16:105)


3). Ayat ini tak sekedar menyebutkan besarnya akibat bagi mereka yang berani mengubah Kitab Suci, tapi juga menyebutkan motifnya. Di sini disebutkan bahwa motif mereka melakukan semua itu ialah لِيَشْتَرُواْ بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً (li yasytarŭw bihi tsamanang qalĭyla, untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu). Yaitu dengan cara ‘menjual’ ayat-ayat buatannya tersebut untuk mendapatkan kenikmatan material. Padahal sebanyak apapun keuntungan duniawi yang mereka peroleh dengan cara seperti itu tetap tidak ada nilainya di sisi Allah. Inilah yang membuat rangkaian kisah perjalanan Bani Israil bersama Nabi Musa, Allah mulai dengan peringatan akan kejadian ini: “Hai Bani Israil, ingatlah akan ni`mat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kalian harus takut (tunduk). Dan berimanlah kalian kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Qur'an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan (hanya) kepada-Kulah kalian (hendaknya) bertakwa.” (2:40-41)

Kamis, 28 Februari 2013

PROFIL DARUL MUTTAQIN


  profil darul muttaqin                                         
                              
Hidup saat  ini memang aneh yang TAK JELAS diperjelas yang JELAS dibuat tak jelas seperti gambaran Baginda kita “Agama ini datangnya dianggap asing suatu saat nanti juga akan dipandang asing”  Eeehhhhhh……..                                                                                                                                 SIAPA BUTUH APA  dianggap  APA BUTUH SIAPA.                                                                            
Oh…ya kenalkan                                                                                                                                                                                                                                                                   Namaku        :  DARUL  MUTTAQIN                                                                                                         Alamatku       : Ds GAGANG KEPUHSARI Kec BALONGBENDO Kab SIDOARJO                              Usiaku           : 70 Th    LEBIH                                                                                                                 Pekerjaanku : MENDO`AKAN ORANG YANG   MERAWATKU                                                            Pesanku        : JANGAN KASIHAN PADAKU, KASIHANILAH DIRIMU    SENDIRI                           Kesanku        : AKU TIDAK BUTUH BANTUANMU, WALAU PUN BELUM TENTU KAMU             BUTUH  AKU. ANDAI AKU ROBOH BUKAN AKU YANG RUGI, ANDAI AKU HANCUR DAN .  BINASA SIAPA YANG BERDOSA…?                                                                                                                                             
SARANKU      : Jika kamu berbuat baik, (Seperi INFAQ pada MASJID atau lainnya) jangan kira ada pihak lain yang kamu untungkan, sadarilah Apapun yang kamu perbuat –BAIK  ATAU  BURUK- adalah INFESTASIMU  untuk di kehidupan nyata kelak.  Yang dihari itu sudah tidak ada lagi harapan   apa lagi toleran, tak ada guna penyesalan melainkan saatnya menuai semua hasil tanaman.                                                                              
Dengan kondisiku saat ini, adalah merupakan kesempan bagimu untuk menaburkan benih harapan buat masa depan.                                                                                                                              Jika kamu memang butuh aku dan ingin mengenal aku lebih jauh           DATANGilah  aku  atau hubungi salah satu PELAYANKU  0856  4934  7299      atau  031  3401  4304.               Hamparan ladang masih sangat  gunakan kesempatan ini.  Semoga harapanmu diwujutkan dan di ridloi Alloh SWT. Amin…..                                                                                    
                                                                                                                                      


                                                                                                                                  Darul Muttaqin