Jumat, 01 Maret 2013

KAJIAN TAFSIR

SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 79

فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَـذَا مِنْ عِندِ اللّهِ لِيَشْتَرُواْ بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً فَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَّهُمْ مِّمَّا يَكْسِبُونَ
[Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Kitab Suci dengan tangan mereka sendiri, lalu mengatakan: "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.]
  1). Usai berbicara soal agama samawi yang dirusak melalui angan-angan kosong, kini Allah mengingatkan bahwa angan-angan kosong itu bahkan ditulis dan dimasukkan sebagai bagian dari Kitab Suci. Tidak tanggung-tanggung, di ayat ini al-Qur’an menggunakan kata وَيْلٌ (waylun) sebanyak 3 (tiga) kali, terbanyak di sepanjang ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan kata ini. Pada umumnya kata وَيْلٌ (waylun) hanya muncul sekali saja. Padahal satu kata وَيْلٌ (waylun) saja sudah cukup membuat bulu kuduk merinding. Betapa tidak, al-Mu’jam al-Wasĭth memberi makna umum kata وَيْلٌ (waylun) ini dengan “solusi paling buruk”; sedangkan penulis tafsir al-Wajĭz li-Kitabillahil-‘Azĭz memberi pengertian umum dengan “azab yang keras”. Kemudian makna umum ini dirinci lagi menjadi dua makna seperti yang sering dipakai di terjemahan-terjemahan. Makna pertama, ialah “kecelakaan besar”, yang oleh para penerjemah Bahasa Inggeris disamakan dengan kata “woe” yang bisa berarti “kutukan” atau “ksengsaraan”. Makna kedua, ialah “sebuah lembah Neraka Jahannam”; makna ini diambil dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan al-Hakim, dimana Nabi bersabda: “al-Wayl adalah sebuah lembah di Neraka Jahannam, yang orang kafir akan jatuh ke dalamnya selama 40 tahun sebelum mencapai dasarnya.”
Selanjutnya, kata وَيْلٌ (waylun) ini kebanyakan dikaitkan dengan “kafir, musyriq, zhalim” (14:2, 19:34, 38:27, 41:6, 43:65, 51:60), “keras kepala” (39:22), “pengumpat dan serakah” (104:1-3), “mendustakan hari akhirat” (52:11; 77:15,19,24,28,34,37,40,45,47,49; 83:10), “kecurangan” (83:1-3), dan “lalai dari sifat salat” (107:4). Dari kategori ini kita bisa melihat bahwa kata وَيْلٌ (waylun) paling banyak adalah ayat yang berekenaan dengan “mendustakan hari akhirat”, karena semua kategori lainnya bermula dari sini. Tetapi semua kategori tadi pada dasarnya sejalan dengan ayat 79 ini. Karena hanya mereka yang memiliki semua kategori itulah agaknya yang memiliki keberanian untuk mengubah Kitab Suci. “Kecelakaan besarlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. (Yaitu) orang yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” (104:1-3)


2). Ketiga kata وَيْلٌ (waylun) di ayat ini diikuti oleh kata kerja yang hampir sama. Dua kata وَيْلٌ (waylun) yang pertama mengaitkan hukuman itu sebagai akibat dari “perbuatan tangan” (yang pertama bentuk berkelanjutan atau present continuous, yang kedua dalam bentuk lampau), dan yang lainnya mengaitkannya dengan “perbuatan” dalam pengertian umum, tanpa ada kata “tangan” di belakangnya. Penggunaan kata “tangan” di sini, selain bisa bermakna simbolik—yang berarti perbuatan itu dilakukan dengan sengaja—juga bisa bermakna hakiki—yang berarti bahwa mereka memang telah melakukan pemalsuan terhadap Kitab Suci dengan cara menghapus dan mengubah sebahagian, lalu sebahagiannya lagi mereka tulis dengan tangan mereka sendiri kemudian dideklarasikan melalui pernyataan sakral: هَـذَا مِنْ عِندِ اللّهِ (ɦādza min ‘indillah, ini dari Allah). Jelas ini adalah kebohongan besar. Kebohongan sendiri sudah besar dosanya, apalagi kalau yang kita jual dalam kebohongan itu ialah nama Allah. Dan yang tertipu di sini bukan hanya satu dua orang, tapi berjuta-juta. Bukan hanya satu generasi, tapi hingga generasi akhir zaman.
Sedangkan “perbuatan” yang tidak disertai kata “tangan” bermakna bahwa tulis-menulis Kitab Suci tersebut adalah sebuah upaya sistematis, terstruktur, dan terencana dengan baik. Tindakan ini meniscayakan berkumpulnya unsur-unsur ini: “penulis”, “konseptor”, “aktor intelektual”, dan “penyandang dana”. Mereka inilah yang ‘bekerja keras’ bahu-membahu untuk melahirkan sebuah Kitab Suci yang diklaim berasal dari Allah. “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (16:105)


3). Ayat ini tak sekedar menyebutkan besarnya akibat bagi mereka yang berani mengubah Kitab Suci, tapi juga menyebutkan motifnya. Di sini disebutkan bahwa motif mereka melakukan semua itu ialah لِيَشْتَرُواْ بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً (li yasytarŭw bihi tsamanang qalĭyla, untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu). Yaitu dengan cara ‘menjual’ ayat-ayat buatannya tersebut untuk mendapatkan kenikmatan material. Padahal sebanyak apapun keuntungan duniawi yang mereka peroleh dengan cara seperti itu tetap tidak ada nilainya di sisi Allah. Inilah yang membuat rangkaian kisah perjalanan Bani Israil bersama Nabi Musa, Allah mulai dengan peringatan akan kejadian ini: “Hai Bani Israil, ingatlah akan ni`mat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kalian harus takut (tunduk). Dan berimanlah kalian kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Qur'an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan (hanya) kepada-Kulah kalian (hendaknya) bertakwa.” (2:40-41)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar