SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 81
بَلَى مَن كَسَبَ سَيِّئَةً وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيـئَتُهُ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
[(Bukan demikian), yang benar (ialah), sesiapa melakukan keburukan dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, (dan) mereka kekal di dalamnya.]
1). Inilah sikap rasional al-Qur’an. Neraka bukanlah tempat transit
sementara dan sesaat yang kemudian membuat kita mengentengkan perbuatan
dosa, apalagi kalau dosa itu berkenaan dengan memalsu dan menulis Kitab
Suci kemudian memberi label “ini dari Allah” atau melakukan kejahatan
terhadap kemanusiaan. Ayat ini dimulai dengan kata بَلَى (balā), yang mengindikasikan bahwa kandungannya merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya. Secara bahasa disebutkan, بَلَى (balā) adalah huruf jawab (jawaban) yang datang setelah nafi (negasi) yang tujuannya ialah menetapkan (itsbāt) atas jawaban tersebut. Bisa dikatakan bahwa بَلَى (balā)
dimaksudkan untuk memberikan jawaban sangkal terhadap pengakuan negatif
sebelumnya. Di ayat sebelumnya, Bani Israil mengklaim لَن تَمَسَّنَا
النَّارُ إِلاَّ أَيَّاماً مَّعْدُودَةً (lan tamassanan-nāru illā ayyāman ma’dŭdah, Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja). Perhatikan kata لَن (lan) di awal pengakuan, yang berfungsi sebagai taukĭd (penguat) untuk menegasikan anggapan lain dari lafazh yang di-taukĭd-kan. Jadi huruf لَن (lan)
di sini adalah maklumat untuk menolak semua kemungkinan (dosa-dosa)
yang bisa membuat mereka (Bani Israil) masuk neraka kecuali beberapa
hari saja. Tetapi kemudian datang kata بَلَى (balā)
untuk menyangkal maklumat tersebut, bahwa maklumat itu tidak benar
adanya, dan sekaligus menyampaikan jawaban yang benar. Sehingga kata
بَلَى (balā) bisa diartikan sebagai “bukan begitu, tetapi yang benar ialah...” Yaitu bahwa pengakuan kalau mereka “sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja” itu tidak benar. Allah menjawab: “(Itu
tidak benar), yang benar (ialah), sesiapa melakukan keburukan dan ia
telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, (dan) mereka
kekal di dalamnya”. Jawaban Allah inilah yang paling rasional.
Yakni bahwa neraka itu tidak pilih kasih. Pokoknya siapa saja, dari
kalangan mana saja, ras dan wangsa apa saja, kalau melakukan dosa dan
dosanya telah meliputi atau menguasai dirinya, maka nerakalah tempat
tinggalnya dan kekal di sana.
2). Kalau neraka tidak tebang pilih, lalu siapa saja yang akan
menjadi ‘target operasinya’? Ini penting sebab azab neraka bukan
main-main. Nabi pernah mengatakan bahwa serendah-rendahnya tingkatan
neraka ialah yang di dalamnya sendal penghuninya terbuat dari besi yang
kalau diinjak, panasnya membuat otak di kepala mendidih. “Dan siapa
saja yang (datang kepada Allah dengan) membawa kejahatan, maka
disungkurkanlah muka mereka ke dalam neraka. Tiadalah kalian dibalasi,
melainkan (setimpal) dengan apa yang dahulu kalian kerjakan.”
(27:90) Bahkan pelaku keburukan ini sebelum di azab di neraka, Allah
mengancamnya untuk menimpakan kepadanya juga azab di dunia. “Maka
apakah orang-orang yang membuat makar yang buruk itu, merasa aman (dari
azab) dengan ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau
datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari. Atau
Allah mengazab mereka di waktu mereka dalam perjalanan, maka sekali-kali
mereka tidak dapat menolak (azab itu). Atau Allah mengazab mereka
dengan berangsur-angsur (sampai binasa). Maka sesungguhnya Tuhanmu
adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (16:45-47) Jadi
perbuatan kejahatan dan keburukan tidak boleh dientengkan, sekecil
apapun itu. Tidak ada kejahatan yang Allah biarkan berlalu begitu saja.
Semua direkam dan akan dibalisinya. “Ataukah orang-orang yang
mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari (azab)
Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu.” (29:4) Allah Maha Adil, sehingga tidak mungkin memperlakukan sama antara pelaku keburukan dan pelaku kebaikan. “Apakah
orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan
menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat
buruklah apa yang mereka sangka itu.” (45:21) Dan ayat berikut ini
mengisyaratkan bahwa azab neraka sebagai balasan atas keburukan yang
pelaku kejahatan atau keburukan lakukan tidak akan bisa ditebus dengan
apapun. “Dan sekiranya orang-orang yang zalim mempunyai apa yang ada
di bumi semuanya dan (ada pula) sebanyak itu besertanya, niscaya mereka
akan menebus dirinya dengan itu dari siksa yang buruk pada hari kiamat.
Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka
perkirakan. Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah
mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu
selalu memperolok-olokkannya.” (39:47-48)
3). Di sini Allah tidak berbicara dosa dalam pengertian dzanbun atau itsmun—yang lazim digunakan al-Qura’an berkenaan dengan dosa manusia—tetapi Dia menggunakan kata خَطِيـئَتُهُ (khathi’atuhu)
yang secara harafiyah bermakna “kesalahan-kesalahan-nya”. Maka makna
yang sesungguhnya dari anak kalimat وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيـئَتُهُ (wa ahāthat bihi khathĭy’atuhu, dan dia telah diliputi oleh kesalah-kesalahannya)
ialah seseorang yang telah dikuasai oleh sifat-sifat buruknya sehingga
yang terefleksi dari perkataan dan perbuatannya sehari-hari mayoritasnya
adalah kesalahan dan kejahatan, dan hampir tidak ada kebenaran lagi.
Ingat, Allah disebut Maha Meliputi karena Dia adalah al-Muhĭyth (satu asal kata dengan “ahāthat”). Seseorang melakukan dosa, baik dalam pengertian dzanbun ataupun itsmun manakala orang tersebut SALAH dalam menentukan haq dan bathil. Apabila yang haq disebut bathil, secara otomatis yang bathil pun disebutnya haq.
Itu sebabnya, para pelaku kejahatan besar terkadang disebut bahwa azab
atasnya adalah sebagai akibat dari kesalahan-kesalahannya. “...Sesungguhnya Fir`aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang salah.”
(28:8) Saudara-saudara Yusuf yang berkonspirasi membuangnya ke dalam
sumur untuk membunuhnya, pasti melakukan kejahatan besar. Tetapi
al-Qur’an menggunakan kata “kesalahan”. “Mereka (saudara-saudara
Yusuf) berkata: ‘Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami atas
dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang salah (berdosa)’.”
(12:97) Seorang istri yang menggoda (apalagi memaksa) lelaki lain untuk
diajak berhubungan ‘intim’ tentulah dosa besar, tetapi al-Qur’an
lagi-lagi menggunakan kata “SALAH”. “(Kata suami wanita itu) Wahai
Yusuf: ‘Lupakanlah (kejadian) ini dan (kamu wahai istriku) mohon
ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang
yang berbuat salah’.” (12:29) Apabila kesalahan-kesalahan ini telah menguasai seseorang, bisa dipastikan keburukan dan kejahatan, dzanbun dan itsmun,
pun menguasai keputusan-keputusan dan perbuatan-perbuatannya, sehingga
sangat pantas baginya neraka. Siapa pun orangnya, tanpa membedakan ras
dan wangsanya, Bani Israil atau Bani Adam lainnya.
4). Ketika menyebut neraka, Allah menyebut penghuni yang masuk di dalamnya sebagai kekal. “.... mereka itulah penghuni neraka, (dan) mereka kekal di dalamnya”.
Tentang pengertian kekal di surga atau di neraka, telah kita bahas di
ayat 25 poin 4 (silahkan rujuk ke sana). Yang jelas penggunaan kata
فَأُوْلَـئِكَ (fa-ulāika, maka mereka itulah)
di penggalan akhir ayat ini menunjukkan bahwa Allah hendak
memperkenalkan (dengan maksud membatasi ruang lingkup) bahwa
orang-orang—yaitu orang-orang yang telah diliputi oleh
kesalahan-kesalahannya—yang seperti itulah kelak yang akan menjadi
penghuni api neraka. Pembatasan defenisi dengan menunjuk pada ruang
lingkup tertentu inilah yang—dalam ilmu Bahasa—disebut muqayyad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar