Sabtu, 02 Maret 2013

AL BAQOROH AYAT 81

SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 81

بَلَى مَن كَسَبَ سَيِّئَةً وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيـئَتُهُ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
[(Bukan demikian), yang benar (ialah), sesiapa melakukan keburukan dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, (dan) mereka kekal di dalamnya.]

1). Inilah sikap rasional al-Qur’an. Neraka bukanlah tempat transit sementara dan sesaat yang kemudian membuat kita mengentengkan perbuatan dosa, apalagi kalau dosa itu berkenaan dengan memalsu dan menulis Kitab Suci kemudian memberi label “ini dari Allah” atau melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ayat ini dimulai dengan kata بَلَى (balā), yang mengindikasikan bahwa kandungannya merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya. Secara bahasa disebutkan, بَلَى (balā) adalah huruf jawab (jawaban) yang datang setelah nafi (negasi) yang tujuannya ialah menetapkan (itsbāt) atas jawaban tersebut. Bisa dikatakan bahwa بَلَى (balā) dimaksudkan untuk memberikan jawaban sangkal terhadap pengakuan negatif sebelumnya. Di ayat sebelumnya, Bani Israil mengklaim لَن تَمَسَّنَا النَّارُ إِلاَّ أَيَّاماً مَّعْدُودَةً (lan tamassanan-nāru illā ayyāman ma’dŭdah, Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja). Perhatikan kata لَن (lan) di awal pengakuan, yang berfungsi sebagai taukĭd (penguat) untuk menegasikan anggapan lain dari lafazh yang di-taukĭd-kan. Jadi huruf لَن (lan) di sini adalah maklumat untuk menolak semua kemungkinan (dosa-dosa) yang bisa membuat mereka (Bani Israil) masuk neraka kecuali beberapa hari saja. Tetapi kemudian datang kata بَلَى (balā) untuk menyangkal maklumat tersebut, bahwa maklumat itu tidak benar adanya, dan sekaligus menyampaikan jawaban yang benar. Sehingga kata بَلَى (balā) bisa diartikan sebagai “bukan begitu, tetapi yang benar ialah...” Yaitu bahwa pengakuan kalau mereka “sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja” itu tidak benar. Allah menjawab: “(Itu tidak benar), yang benar (ialah), sesiapa melakukan keburukan dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, (dan) mereka kekal di dalamnya”. Jawaban Allah inilah yang paling rasional. Yakni bahwa neraka itu tidak pilih kasih. Pokoknya siapa saja, dari kalangan mana saja, ras dan wangsa apa saja, kalau melakukan dosa dan dosanya telah meliputi atau menguasai dirinya, maka nerakalah tempat tinggalnya dan kekal di sana.


2). Kalau neraka tidak tebang pilih, lalu siapa saja yang akan menjadi ‘target operasinya’? Ini penting sebab azab neraka bukan main-main. Nabi pernah mengatakan bahwa serendah-rendahnya tingkatan neraka ialah yang di dalamnya sendal penghuninya terbuat dari besi yang kalau diinjak, panasnya membuat otak di kepala mendidih. “Dan siapa saja yang (datang kepada Allah dengan) membawa kejahatan, maka disungkurkanlah muka mereka ke dalam neraka. Tiadalah kalian dibalasi, melainkan (setimpal) dengan apa yang dahulu kalian kerjakan.” (27:90)  Bahkan pelaku keburukan ini sebelum di azab di neraka, Allah  mengancamnya untuk menimpakan kepadanya juga azab di dunia. “Maka apakah orang-orang yang membuat makar yang buruk itu, merasa aman (dari azab) dengan ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari. Atau Allah mengazab mereka di waktu mereka dalam perjalanan, maka sekali-kali mereka tidak dapat menolak (azab itu). Atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa). Maka sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (16:45-47) Jadi perbuatan kejahatan dan keburukan tidak boleh dientengkan, sekecil apapun itu. Tidak ada kejahatan yang Allah biarkan berlalu begitu saja. Semua direkam dan akan dibalisinya. “Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari (azab) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu.” (29:4) Allah Maha Adil, sehingga tidak mungkin memperlakukan sama antara pelaku keburukan dan pelaku kebaikan. “Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (45:21) Dan ayat berikut ini mengisyaratkan bahwa azab neraka sebagai balasan atas keburukan yang pelaku kejahatan atau keburukan lakukan tidak akan bisa ditebus dengan apapun. “Dan sekiranya orang-orang yang zalim mempunyai apa yang ada di bumi semuanya dan (ada pula) sebanyak itu besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu dari siksa yang buruk pada hari kiamat. Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya.” (39:47-48)


3). Di sini Allah tidak berbicara dosa dalam pengertian dzanbun atau itsmun—yang lazim digunakan al-Qura’an berkenaan dengan dosa manusia—tetapi Dia menggunakan kata خَطِيـئَتُهُ (khathi’atuhu) yang secara harafiyah bermakna “kesalahan-kesalahan-nya”. Maka makna yang sesungguhnya dari anak kalimat وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيـئَتُهُ (wa ahāthat bihi khathĭy’atuhu, dan dia telah diliputi oleh kesalah-kesalahannya) ialah seseorang yang telah dikuasai oleh sifat-sifat buruknya sehingga yang terefleksi dari perkataan dan perbuatannya sehari-hari mayoritasnya adalah kesalahan dan kejahatan, dan hampir tidak ada kebenaran lagi. Ingat, Allah disebut Maha Meliputi karena Dia adalah al-Muhĭyth (satu asal kata dengan “ahāthat”). Seseorang melakukan dosa, baik dalam pengertian dzanbun ataupun itsmun manakala orang tersebut SALAH dalam menentukan haq dan bathil. Apabila yang haq disebut bathil, secara otomatis yang bathil pun disebutnya haq. Itu sebabnya, para pelaku kejahatan besar terkadang disebut bahwa azab atasnya adalah sebagai akibat dari kesalahan-kesalahannya. “...Sesungguhnya Fir`aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang salah.” (28:8) Saudara-saudara Yusuf yang berkonspirasi membuangnya ke dalam sumur untuk membunuhnya, pasti melakukan kejahatan besar. Tetapi al-Qur’an menggunakan kata “kesalahan”. “Mereka (saudara-saudara Yusuf) berkata: ‘Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami atas dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang salah (berdosa)’.” (12:97) Seorang istri yang menggoda (apalagi memaksa) lelaki lain untuk diajak berhubungan ‘intim’ tentulah dosa besar, tetapi al-Qur’an lagi-lagi menggunakan kata “SALAH”. “(Kata suami wanita itu) Wahai Yusuf: ‘Lupakanlah (kejadian) ini dan (kamu wahai istriku) mohon ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang yang berbuat salah’.” (12:29) Apabila kesalahan-kesalahan ini telah menguasai seseorang, bisa dipastikan keburukan dan kejahatan, dzanbun dan itsmun, pun menguasai keputusan-keputusan dan perbuatan-perbuatannya, sehingga sangat pantas baginya neraka. Siapa pun orangnya, tanpa membedakan ras dan wangsanya, Bani Israil atau Bani Adam lainnya.


4). Ketika menyebut neraka, Allah menyebut penghuni yang masuk di dalamnya sebagai kekal. “.... mereka itulah penghuni neraka, (dan) mereka kekal di dalamnya”. Tentang pengertian kekal di surga atau di neraka, telah kita bahas di ayat 25 poin 4 (silahkan rujuk ke sana). Yang jelas penggunaan kata فَأُوْلَـئِكَ (fa-ulāika, maka mereka itulah) di penggalan akhir ayat ini menunjukkan bahwa Allah hendak memperkenalkan (dengan maksud membatasi ruang lingkup) bahwa orang-orang—yaitu orang-orang yang telah diliputi oleh kesalahan-kesalahannya—yang seperti itulah kelak yang akan menjadi penghuni api neraka. Pembatasan defenisi dengan menunjuk pada ruang lingkup tertentu inilah yang—dalam ilmu Bahasa—disebut muqayyad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar