SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 80
وَقَالُواْ لَن تَمَسَّنَا النَّارُ إِلاَّ أَيَّاماً مَّعْدُودَةً قُلْ
أَتَّخَذْتُمْ عِندَ اللّهِ عَهْداً فَلَن يُخْلِفَ اللّهُ عَهْدَهُ أَمْ
تَقُولُونَ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
[Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh
api neraka, kecuali selama beberapa hari saja." Katakanlah: "Sudahkah kalian menerima janji dari Allah (tentang pengakuanmu itu) karena Allah tidak akan pernah memungkiri janji-Nya ataukah kalian hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui?".]
1). Pada pembahasan sebelumnya, dikatakan bahwa ayat yang paling banyak mengandung kata وَيْلٌ (waylun)
ialah yang berkenaan dengan “mendustakan hari akhirat”. Orang yang
“mendustakan hari akhirat” atau paling tidak “meremehkan hari akhirat”
sudah barang tentu “meyakini hanya dunia” ini satu-atunya kehidupan atau
setidaknya “mengutamakan kehidupan dunia” daripada kehidupan akhirat.
Jikalau cara pandang seperti ini sudah menguasai seseorang, niscaya akan
mau melakukan apa saja demi kehidupan dunia, termasuk “menjual agama”,
atau bahkan “menulis Kitab Suci”. Inilah yang terjadi pada Bani Israil.
Cara pandang mereka ini diungkapkan secara gamblang oleh ayat 80 ini.
Dikatakan bahwa mereka tidak merasa risih sedikit pun “memalsu dan
menulis Kitab Suci” dengan tangan mereka sendiri karena mereka
berprinsip: “Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.”.
Cara pandang mereka yang terbaca di penggalan ayat ini menunjukkan
dengan sangat jelas bahwa mereka sebetulnya mengakui kalau apa yang
mereka kerjakan itu suatu kesalahan besar, yang ganjarannya adalah
neraka. Cuma mereka berprinsip bahwa neraka baginya hanyalah tenpat
transit sesaat, أَيَّاماً مَّعْدُودَةً (ayyāman ma’dŭwdah, beberapa hari saja).
Bagi mereka, neraka itu hanyalah tenpat “cuci-cuci” dosa saja yang
tidak ada apa-apanya dibanding dengan keninkmatan dunia yang mereka
dapatkan dengan menjual Kitab Suci. Dan prinsip ini bukan hanya berlaku
pada mereka yang “memalsu dan menulis Kitab Suci”, tetapi siapa saja
yang rela mengorbankan agamanya demi keuntungan duniawi: “Tidakkah
kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bahagian dari Kitab
Suci, mereka diseru kepada Kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum
di antara mereka; tetapi sebahagian dari mereka berpaling, dan mereka
selalu membelakangi (kebenaran). Hal itu adalah karena mereka
berpsinsip: ’Kami tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali selama beberapa hari saja’. Mereka diperdayakan dalam agama mereka oleh apa yang selalu mereka ada-adakan.” (3:23-24)
2). Keyakinan mereka bahwa tidak akan tersentuh api neraka kecuali
beberapa hari saja, tentu mereka bangun menurut falsafah hidup yang
mereka pegang. Keyakinan seperti ini tidak hanya ada pada Bani Israil,
tapi sepertinya ada pada setiap agama. Kalau keyakinan ini muncul
sebagai akibat dari faham positif terhadap agama tersebut, mungkin tidak
terlalu bermasalah. Tetapi kalau muncul dari fahaman negatif,
masalahnya akan menjadi sangat besar. Karena penganut agama yang
berfaham negatif seperti ini pasti akan merasa sangat enteng melakukan
pelanggaran-pelanggaran, bahkan termasuk dengan enteng melakukan
kejahatan terhadap kemanusiaan: melakukan korupsi, membunuh orang yang
beda faham dengannya, menempatkan kekuatan militer di suatu negara
tertentu, menyiksa tawanan politik, dan sebagainya. Mereka melakukan
kejahatan itu dengan asumsi neraka akan bersikap penuh kasih kepadanya,
karena mereka melakukannya demi menegakkan ‘kebenaran’ agamanya. Mereka
lupa bahwa pengakuan Allah inilah yang bisa diterima akal sehat: “Barangsiapa
yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh
dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka
azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (35:10)
3). Pada pembahasan tentang hujjah (ayat 76), telah dielaborasi bahwa agama itu hujjah,
argumen, sehingga agama harus selalu mampu menyodorkan bukti—entah yang
rasional entah yang faktual. Setelah Bani Israil memberikan pengakuan
bahwa mereka tidak akan tersentuh api neraka kecuali hanya beberapa hari
saja, kini giliran Allah meminta klarifikasi kepada mereka dalam bentuk
hujjah agar pengakuan itu tidak berhenti sebagai أَمَانِيَّ (amanĭy, angan-angan kosong) belaka saja: “Sudahkah
kalian menerima janji dari Allah (tentang pengakuanmu itu) karena Allah
tidak akan pernah memungkiri janji-Nya, ataukah kalian hanya mengatakan
terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui?” Kalau sudah, Bani
Israil tentu diminta untuk menunjukkannya, yaitu menunjukkan di ayat
mana di dalam Kitab Suci janji tersebut termaktub. Permintaan
klarifikasi ini menjebak mereka pada buah simalakama. Kalau janji
seperti itu benar-benar Allah maktubkan di dalam Kitab Suci, niscaya
akan membuka cacat besar bagi Allah, Kitab Suci, dan agama samawi itu
sendiri. Yaitu bahwa Allah ternyata tidak pantas menyandang gelar Sang
Maha Adil, karena dimana letak keadilan jikalau ada ras atau wangsa
tertentu yang yang mendapatkan privilege (keistimewaan)
melebihi ras atau wangsa lainnya. Sebaliknya, kalau mereka tidak dapat
menunjukkannya, maka bukankah apa yang mereka katakan itu tidak lebih
dari أَمَانِيَّ (amanĭy, angan-angan kosong) belaka saja. “Dan
mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: ’Sekali-kali tidak akan masuk
surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani’. Demikian
itu (hanya) angan-angan kosong belaka mereka. Katakanlah: ‘Tunjukkanlah
bukti kebenaranmu jika kalian adalah orang yang benar’.” (2:111)
4). Ketidakmampuan Bani Israil menunjukkan hujjah,
membuktikan bahwa mereka hanya mengatakan sesuatu yang mereka sendiri
tidak mengerti. Inilah yang membuktikan bahwa pada saat agama samawi
telah mencapai titik dekadennya, ajarannya tinggal dogma belaka saja.
Sehingga bisa dibalik begini; apabila suatu agama diajarkan secara
dogmatik, maka itu pertanda yang sangat jelas bahwa di sana ada
dekadensi yang disembunyikan. Setiap kepalsuan selalu tidak tahan
terhadap pertanyaan-pertanyaan rasional. أَمْ تَقُولُونَ عَلَى اللّهِ
مَا لاَ تَعْلَمُونَ (am taqŭwlŭwna ‘alallahi mā lā ta’lamŭwn, ataukah kalian hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui (tidak ber-ILMU tentangnya)?).
Melalui ayat ini, Allah ingin mengajarkan kita bahwa setiap yang
namanya kepalsuan selalu tidak berhak menyandang predikat “ILMU”. Kalau
dibalik, poposisi ini mengatakan: setiap yang bukan ILMU pasti
kepalsuan. Itu sebabnya setiap sistem pemikiran yang dibangun tidak
dasar ILMU, Allah samakan dengan bangunan sarang laba-laba; kelihatan
indah, tapi teramat sangat rapuh. “Perumpamaan orang-orang yang
mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang
membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah
laba-laba kalau mereka mengetahui (ber-ILMU). Sesungguhnya Allah
mengetahui apa saja yang mereka seru selain Allah. Dan Dia Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk
manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang ber-ILMU.”
(29:41-43) Semesta ciptaan-Nya disebut ALAM karena seluruh entitas yang
ada padanya dan hukum-hukum yang mengatur entitas-entitas itu merupakan
obyek-obyek fikiran yang membuat orang ber-ILMU. “Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
ber-ILMU.” (30:22)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar