Sabtu, 02 Maret 2013

AL BAQOROH AYAT 80

SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 80

وَقَالُواْ لَن تَمَسَّنَا النَّارُ إِلاَّ أَيَّاماً مَّعْدُودَةً قُلْ أَتَّخَذْتُمْ عِندَ اللّهِ عَهْداً فَلَن يُخْلِفَ اللّهُ عَهْدَهُ أَمْ تَقُولُونَ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
[Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja." Katakanlah: "Sudahkah kalian menerima janji dari Allah (tentang pengakuanmu itu) karena Allah tidak akan pernah memungkiri janji-Nya ataukah kalian hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui?".]



1). Pada pembahasan sebelumnya, dikatakan bahwa ayat yang paling banyak mengandung kata وَيْلٌ (waylun) ialah yang berkenaan dengan “mendustakan hari akhirat”. Orang yang “mendustakan hari akhirat” atau paling tidak “meremehkan hari akhirat” sudah barang tentu “meyakini hanya dunia” ini satu-atunya kehidupan atau setidaknya “mengutamakan kehidupan dunia” daripada kehidupan akhirat. Jikalau cara pandang seperti ini sudah menguasai seseorang, niscaya akan mau melakukan apa saja demi kehidupan dunia, termasuk “menjual agama”, atau bahkan “menulis Kitab Suci”. Inilah yang terjadi pada Bani Israil. Cara pandang mereka ini diungkapkan secara gamblang oleh ayat 80 ini. Dikatakan bahwa mereka tidak merasa risih sedikit pun “memalsu dan menulis Kitab Suci” dengan tangan mereka sendiri karena mereka berprinsip: “Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.”. Cara pandang mereka yang terbaca di penggalan ayat ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa mereka sebetulnya mengakui kalau apa yang mereka kerjakan itu suatu kesalahan besar, yang ganjarannya adalah neraka. Cuma mereka berprinsip bahwa neraka baginya hanyalah tenpat transit sesaat, أَيَّاماً مَّعْدُودَةً (ayyāman ma’dŭwdah, beberapa hari saja). Bagi mereka, neraka itu hanyalah tenpat “cuci-cuci” dosa saja yang tidak ada apa-apanya dibanding dengan keninkmatan dunia yang mereka dapatkan dengan menjual Kitab Suci. Dan prinsip ini bukan hanya berlaku pada mereka yang “memalsu dan menulis Kitab Suci”, tetapi siapa saja yang rela mengorbankan agamanya demi keuntungan duniawi: “Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bahagian dari Kitab Suci, mereka diseru kepada Kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka; tetapi sebahagian dari mereka berpaling, dan mereka selalu membelakangi (kebenaran). Hal itu adalah karena mereka berpsinsip: ’Kami tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali selama beberapa hari saja’. Mereka diperdayakan dalam agama mereka oleh apa yang selalu mereka ada-adakan.” (3:23-24)


2). Keyakinan mereka bahwa tidak akan tersentuh api neraka kecuali beberapa hari saja, tentu mereka bangun menurut falsafah hidup yang mereka pegang. Keyakinan seperti ini tidak hanya ada pada Bani Israil, tapi sepertinya ada pada setiap agama. Kalau keyakinan ini muncul sebagai akibat dari faham positif terhadap agama tersebut, mungkin tidak terlalu bermasalah. Tetapi kalau muncul dari fahaman negatif, masalahnya akan menjadi sangat besar. Karena penganut agama yang berfaham negatif seperti ini pasti akan merasa sangat enteng melakukan pelanggaran-pelanggaran, bahkan termasuk dengan enteng melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan: melakukan korupsi, membunuh orang yang beda faham dengannya, menempatkan kekuatan militer di suatu negara tertentu, menyiksa tawanan politik, dan sebagainya. Mereka melakukan kejahatan itu dengan asumsi neraka akan bersikap penuh kasih kepadanya, karena mereka melakukannya demi menegakkan ‘kebenaran’ agamanya. Mereka lupa bahwa pengakuan Allah inilah yang bisa diterima akal sehat: “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (35:10)


3). Pada pembahasan tentang hujjah (ayat 76), telah dielaborasi bahwa agama itu hujjah, argumen, sehingga agama harus selalu mampu menyodorkan bukti—entah yang rasional entah yang faktual. Setelah Bani Israil memberikan pengakuan bahwa mereka tidak akan tersentuh api neraka kecuali hanya beberapa hari saja, kini giliran Allah meminta klarifikasi kepada mereka dalam bentuk hujjah agar pengakuan itu tidak berhenti sebagai أَمَانِيَّ (amanĭy, angan-angan kosong) belaka saja: “Sudahkah kalian menerima janji dari Allah (tentang pengakuanmu itu) karena Allah tidak akan pernah memungkiri janji-Nya, ataukah kalian hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui?” Kalau sudah, Bani Israil tentu diminta untuk menunjukkannya, yaitu menunjukkan di ayat mana di dalam Kitab Suci janji tersebut termaktub. Permintaan klarifikasi ini menjebak mereka pada buah simalakama. Kalau janji seperti itu benar-benar Allah maktubkan di dalam Kitab Suci, niscaya akan membuka cacat besar bagi Allah, Kitab Suci, dan agama samawi itu sendiri. Yaitu bahwa Allah ternyata tidak pantas menyandang gelar Sang Maha Adil, karena dimana letak keadilan jikalau ada ras atau wangsa tertentu yang yang mendapatkan privilege (keistimewaan) melebihi ras atau wangsa lainnya. Sebaliknya, kalau mereka tidak dapat menunjukkannya, maka bukankah apa yang mereka katakan itu tidak lebih dari أَمَانِيَّ (amanĭy, angan-angan kosong) belaka saja. “Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: ’Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani’. Demikian itu (hanya) angan-angan kosong belaka mereka. Katakanlah: ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kalian adalah orang yang benar’.” (2:111)


4). Ketidakmampuan Bani Israil menunjukkan hujjah, membuktikan bahwa mereka hanya mengatakan sesuatu yang mereka sendiri tidak mengerti. Inilah yang membuktikan bahwa pada saat agama samawi telah mencapai titik dekadennya, ajarannya tinggal dogma belaka saja. Sehingga bisa dibalik begini; apabila suatu agama diajarkan secara dogmatik, maka itu pertanda yang sangat jelas bahwa di sana ada dekadensi yang disembunyikan. Setiap kepalsuan selalu tidak tahan terhadap pertanyaan-pertanyaan rasional. أَمْ تَقُولُونَ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ (am taqŭwlŭwna ‘alallahi mā lā ta’lamŭwn, ataukah kalian hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui (tidak ber-ILMU tentangnya)?). Melalui ayat ini, Allah ingin mengajarkan kita bahwa setiap yang namanya kepalsuan selalu tidak berhak menyandang predikat “ILMU”. Kalau dibalik, poposisi ini mengatakan: setiap yang bukan ILMU pasti kepalsuan. Itu sebabnya setiap sistem pemikiran yang dibangun tidak dasar ILMU, Allah samakan dengan bangunan sarang laba-laba; kelihatan indah, tapi teramat sangat rapuh. “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui (ber-ILMU). Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang mereka seru selain Allah. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang ber-ILMU.” (29:41-43) Semesta ciptaan-Nya disebut ALAM karena seluruh entitas yang ada padanya dan hukum-hukum yang mengatur entitas-entitas itu merupakan obyek-obyek fikiran yang membuat orang ber-ILMU. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang ber-ILMU.” (30:22)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar