SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 82
وَالَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ أُولَـئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
[Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.]
1). Huruf و (wawu) di awal ayat yang berfungsi sebagai ‘athaf
(penyambung) menunjukkan bahwa ayat ini adalah sambungan dari ayat
sebelumnya. Kalau ayat sebelumnya menegaskan siapa saja yang pantas
masuk ke dalam neraka, maka ayat ini mengungkapkan sebaliknya, yakni
siapa saja yang layak masuk ke dalam surga. Dan kriteria masuk surga
ternyata tidak banyak. Cuma dua macam: beriman dan beramal saleh. Untuk
memahami makna keberimanan di sini, mari kita kembali ke ayat yang lalu
tentang orang-orang yang akan menjadi penghuni neraka. Dikatakan,
seseorang akan menjadi penghuni neraka manakala kesalahannya telah
meliputi dirinya: وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيـئَتُهُ (wa ahāthat bihi khathĭy’atuhu, dan dia telah diliputi oleh kesalah-kesalahannya).
SALAH itu adalah hasil penilaian; dan penilaian itu berangkat dari
keyakinan. Kita mengatakan sesuatu itu SALAH apabila kita yakin bahwa
sesutu itu TIDAK BENAR. Kita menilai sesuatu itu BENAR jikalau kita
yakin bahwa sesuatu tersebut TIDAK SALAH. Artinya, disebut SALAH
manakala di dalam dirinya tidak mengandung kebenaran; dan disebut BENAR
manakala di dalam dirinya tidak lagi mengandung kesalahan. Maka, orang
yang telah diliputi oleh kesalahan-kesalahannya pada dasarnya telah
diliputi oleh hal-hal yang tidak BENAR, yang menyebabkan dirinya pantas
menjadi penghuni neraka. Sebaliknya, orang yang beriman adalah orang
yang diliputi oleh hal-hal yang BENAR, yang menyebabkan dirinya pantas
menjadi penghuni surga. Bisa disimpulkan, neraka ialah tempatnya orang
yang SALAH, sementara surga ialah tempatnya orang yang BENAR.
Perhatikan, betapa pentingnya yang namanya “keyakinan” dalam
menentukan nilai BENAR dan SALAH. Pertanyaannya, di pondasi manakah
berdirinya keyakinan itu, sehingga kita memiliki keyakinan bahwa yang
ini SALAH dan yang itu BENAR? Atau lebih tepatnya, apa dasar keyakinan
kita itu sehingga berani mengatakan ini SALAH dan itu BENAR? Jawabannya:
hukum aqal (yang berlaku universal dan karenanya sama pada
semua orang). Dengan demikian, iman dikatakan benar apabila berangkat
dari keyakinan yang bisa dipertanggungjawabkan secara aqliyah (rasional). Bahkan kebenaran dalil-dalil naqli (nas-nas keagamaan) pun harus bisa diverifikasi oleh hukum aqli ini. Kalau ada dalil-dalil naqli yang tidak lolos verifikasi hukum aqli, itu pasti أَمَانِيَّ (amanĭy, angan-angan kosong)
yang dibuat-buat oleh manusia biasa, yang cepat atau lambat pasti akan
mengalami kadaluarsa dan dekadensi. Iman yang benar tidak mungkin
bersandar pada أَمَانِيَّ (amanĭy, angan-angan kosong). Karena yang BENAR sandarannya Allah, yang SALAH sandarannya Thaghut. “Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); (karena) sungguh telah
jelas (bahwa) jalan yang benar (lebih baik) daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada
Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia
mengeluarkan mereka dari kegelapan (penilaian yang SALAH) kepada cahaya
(penilaian yang BENAR). Dan orang-orang yang kafir,
pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari
cahaya (penilaian yang BENAR) kepada kegelapan (penilaian yang SALAH).
Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (2:256-257)
2). Kriteria kedua ialah “amal saleh”. Penempatan amal saleh selalu
di belakang kata “iman” menunjukkan bahwa disebut amal saleh apabila
amal tersebut refleksi dari iman yang benar. Jika imannya salah, yang
muncul ke permukaan juga “amal salah”. Karen iman ialah motor penggerak
perbuatan, tukang perintah pelaksanaan eksekusi, sehingga corak
perbuatan sangat tergantung pada corak iman. “Dan (ingatlah), ketika
Kami mengambil janji dari kalian dan Kami angkat bukit (Thursina) di
atasmu (seraya berfirman): ‘Peganglah kuat-kuat apa yang Kami berikan
kepadamu dan simaklah!’ Mereka menjawab: ‘Kami mendengarkan tetapi
(kami) tidak (akan) mentaati’. Dan telah diresapkan ke dalam qalbu mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah: ‘Alangkah buruknya perbuatan yang diperintahkan iman-mu kepadamu jika kalian benar-benar beriman (kepada Taurat)’.”
(2:93) Amal yang didorong oleh iman yang benar inilah yang menyebabkan
pelakunya mengarungi bahtera kehidupannya dengan penuh kesucian,
ketenangan, dan kebahagiaan. Artinya, setiap tindakannya membawanya
kepada kehidupan yang suci, tenang, dan bahagia. “Barangsiapa yang
mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
suci dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (16:97) Dan
orang yang hidupnya seperti ini (suci, tenang, bahagia), kelak di saat
wafatnya disambut oleh malaikat dengan ucapan “selamat” sebelum
dimasukkan ke dalam surga. “Orang-orang yang diwafatkan oleh para
malaikat dalam keadaan suci, (para malaikat tersebut) berkata (kepada
mereka): ‘Salaamun ’alaikum, masuklah kalian ke dalam surga itu
disebabkan apa yang telah kalian kerjakan (dulu di dunia)’.” (16:32)
3). Nilai iman dan amal saleh berbuntut pada nilai orang beriman dan
orang saleh. Karena nilai iman di sisi Allah begitu tingginya (ingat,
BENAR itu sandarannya Allah), maka nilai orang beriman juga begitu
tingginya. Ini gampang difahami dengan pengertian bahwa tidak ada
pembicaraan soal iman kalau tidak ada orang yang beriman. Sebagaimana
tidak ada perbuatan saleh kalau tidak ada orang saleh. Maka masuk akal
apabila menyakiti hati orang beriman, Allah mengihtungnya sebagai dosa
besar. “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki
dan mukmin perempuan tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka
sesungguhnya mereka (yang menyakiti) telah memikul kebohongan dan dosa
yang nyata.” (33:58) Puncak keberimanan dan kesalehan—selain
Nabi—ada pada wali-wali Allah. Maka kalau menyakiti hati orang mukmin
saja begitu besar dosanya, lalau bagaimana pula jikalau menyakiti hati
para wali ini. Saat menukil ayat ini di dalam Riyadhus Shalihin-nya,
saat membahas dilarangnya menyakiti orang-orang saleh (para wali), Imam
Nawawi menjelaskan bahwa hadits tentang masalah ini sangat banyak,
diantaranya: “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Sesiapa memusuhi
wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya. Seorang hamba (yang
saleh) senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan yang paling
Aku cintai, yaitu apa-apa yang Aku wajibkan kepadanya. Juga hamba-Ku
(tersebut) mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah hingga
Aku mencintainya. (Maka) jika Aku mencintainya, Aku adalah
pendengarannya yang digunakan untuk mendengar, (Aku adalah)
penglihatannya yang digunakan untuk melihat, (Aku adalah) tangannya yang
digunakan untuk berbuat, (Aku adalah) kakinya yang digunakan untuk
berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, niscaya Aku memberinya. Dan jika
dia berlindung kepada-Ku, niscaya Aku melindunginya’.” (HR. Bukhari
dari Abu Hurairah ra) Di sinilah para wali menemukan karamah dan
sakralitasnya. Begitu sakralnya, sampai Nabi bersabda kepada Abu Bakar
ra, “Hai Abu Bakar, jika kamu membuat mereka (para wali-Ku itu) marah berarti kamu membuat Tuhanmu (juga) marah.” (dikutip dari Riyadhus Shalihin).
4). Penutup ayat ini sama dengan penutup ayat sebelumnya. Bedanya, di
ayat sebelumnya tentang penghuni neraka, sementara di ayat ini tentang
penghuni surga. Tetapi sama-sama menggunakan isim isyārah (kata tunjuk) أُولَـئِكَ (ulāika, mereka itulah): أُولَـئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (ŭlāika ashhābul jannati ɦum fĭyɦa khālidŭwn, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya). Jadi sama-sama ingin mempertegas mana penghuni neraka dan mana penghuni surga. Sehingga keduanya jelas tidak sama. “Tidak sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga ialah orang-orang yang beruntung.” (59:20) Sebagaimana tidak samanya antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui, “Katakanlah:
"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran.” (39:9) Sebagaimana tidak samanya orang yang melihat dan
orang yang buta, antara cahaya dan gelap, antara teduh dan terik,
antara hidup dan mati, “Dan tidaklah sama orang yang buta dengan
orang yang melihat. Dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya.
Dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas. Dan tidak (pula)
sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati....” (35:19-22) Allah selalu menyamakan orang beriman dan beramal saleh dengan terma-terma positif tadi: “Dan
tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidaklah
(pula sama) orang-orang yang beriman serta beramal saleh dengan
orang-orang yang durhaka. (Sayangnya) sangat sedikit kalian mengambil
pelajaran.” (40:58)
5). Untuk mendalami ayat ini, disarankan membaca juga ayat 3, 38 dan
62. Yang perlu ditambahkan di sini ialah bahwa surga dan neraka
sebetulnya implementasi dari reward (imbalan) dan punishment
(hukuman) Allah swt untuk orang yang BENAR dan orang yang SALAH, dan
sebagai dua sayap edukasi. Tanpa keduanya, pendidikan tidak akan jalan.
Dan tanpa pendidikan, manusia tidak akan jadi ‘manusia’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar