SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 83
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لاَ تَعْبُدُونَ إِلاَّ
اللّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسْناً وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ
وَآتُواْ الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلاَّ قَلِيلاً مِّنكُمْ
وَأَنتُم مِّعْرِضُونَ
[Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil
(yaitu): Janganlah kalian menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah
kepada kedua orang tua, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang
miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah
shalat dan tunaikanlah zakat. (Tetapi) kemudian kalian berpaling (dari
janji tersebut) kecuali sebahagian kecil dari kalian, dan kalian (memang
selalu) ingkar.]
1). Ini adalah kata إِذْ (idz, ketika) yang ketigabelas. Ayat 72 hingga ayat 82 adalah bagian dari kata إِذْ (idz, ketika) yang keduabelas,
dimana setelah Bani Israil menyaksikan sendiri bagaimana orang yang
mereka bunuh hidup kembali setelah dipukulkan kepada mayatnya bagian
tubuh sapi betina yang telah mereka sembelih sebelumnya; tetapi setelah
kejadian itu, jiwa mereka kembali mengeras, bahkan lebih keras dari
batu, sampai mereka mau menulis dan memalsu Kitab Suci seraya mengaku
bahwa mereka toh hanya masuk neraka beberapa hari saja. Maka di kata
إِذْ (idz, ketika) yang ketigabelas ini,
Allah hendak mengingatkan kepada Bani Israil mengenai janji yang lain
yang telah mereka ikrarkan di hadapan Allah dan Nabi Musa. Setidaknya
ada 5 (lima) isi perjanjian di ayat ini yang telah ‘ditandatangani’ oleh
Bani Israil: satu, larangan beribadah selain kepada Allah; dua, perintah berbuat baik kepada kedua orang tua, kerabat, anak yatim, dan orang miskin; tiga, perintah bertutur kata yang baik kepada sesama manusia; empat, perintah mendirikan salat; dan lima, perintah menunaikan zakat. Kelima isi perjanjian ini akan dibahas lebih rinci pada poin-poin berikut ini.
2). Janji yang ke-satu: larangan beribadah
selain kepada Allah. Ini pertanda bahwa prinsip pertama dan utama yang
Allah ajarkan kepada Bani Israil—dan juga kepada kaum yang lain melalui
nabi-nabi yang datang kepadanya—ialah TAUHID (meng-esa-kan Allah). Bahkan melalui Luqman, Allah mengajarkan kita dari mana orang tua seharusnya memulai pendidikan anak-anaknya. “Dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah)
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar’. ” (31:13) Di sini Luqman tak hanya melarang anaknya
mempersekutukan Allah, tapi sekaligus menyampaikan mengapa larangan itu
harus ada. Kata Luqman: “Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Artinya, inilah induk dari seluruh kezaliman, sehingga tidak mungkin
seseorang melakukan kezaliman-kezaliman lainnya—termasuk melakukan
ketidakadilan—manakala tidak mempersekutukan Allah sebelumnya.
3). Janji ke-dua: perintah berbuat baik
kepada kedua orang tua, kerabat, anak yatim, dan orang miskin. Susunan
ini bukan kebetulan. Susunan ini sekaligus menerangkan sekala prioritas
dalam berbuat baik kepada manusia. Yaitu bahwa di dalam berbuat baik
itu, yang harus diutamakan pertama kali ialah kedua orang tua, ibu dan
ayah. “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya klian jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kalian berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah
kalian mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah membentak mereka serta ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
(17:23) Lalu bagaimana kalau di antara kedua orang tua juga harus
membuat skala prioritas? Sabda Nabi: ibumu, ibumu, ibumu. Firman Allah: “Dan
Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada dua orang
ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan
bertamba lemah, lalu menyapihnya dalam dua tahun. (Maka) bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu.” (31:14) Saat Allah menyebut ibu, Dia mengingatkan kita
penderitaan demi penderitaan yang dilaluinya demi mengandungkan,
melahirkan, dan menyapih anak-anaknya. Setelah orang tua, baru kepada
kerabat, anggota keluarga yang lain. Kemudian anak yatim dan orang
miskin. Dua yang terakhir oleh Islam bahkan dijadikan sebagai ukuran
keberagamaan seseorang: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan
agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan
memberi makan orang miskin.” (107:1-3)
4). Janji ke-tiga: perintah bertutur kata
yang baik kepada sesama manusia. Ini penting, karena “lidah tidak
bertulang”, sehingga mudah ditekuk sana tekuk sini, lupa kalau jiwa
manusia sangat sensitif dalam menangkap hasil olah lidah. Agar jiwa
manusia tidak tersinggung karenanya, maka: “Dan apabila sewaktu
pembagian (harta waris) itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin,
maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang baik.” (4:8) Kesalahan orang lain kepada kita
pun tidak boleh menjadi alasan untuk mengumbar kata-kata kasar dan
tidak patut kepada mereka. “Dan hamba-hamba ar-Rahman (Tuhan Yang
Maha Penyayang) itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi
dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata yang menyejukkan (jiwa).” (25:63) Saat Allah mengutus Musa dan Harun datang kepada Fir’aun, diantara pesan-Nya ialah: “Pergilah
kamu berdua kepada Fir`aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.
Maka berbicaralah kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan (dengan begitu) ia ingat atau takut.” (20:43-44)
Kalau kepada Fir’aun saja diperintahkan bertutur kata yang lemah lembut,
lalu bagaimana pula kepada manusia lain yang tidak sejahat Fir’aun?
5). Janji ke-empat: perintah mendirikan salat. Ini menunjukkan bahwa perintah salat juga ada di dalam Taurat yang belum di tahrif.
Salat ternyata bukan ibadah yang hanya disyari’atkan kepada umat
Muhammad, tapi juga kepada umat-umat sebelumnya. Di dalam Injil Barnabas
dikatakan begini: “Kemudian pergilah Yesus beserta murid-muridnya ke padang sahara di belakang Yerden. Maka setelah sembahyang siang, duduklah ia di samping sebuah pohon kurma sedang para murid duduk di bawah naungannya.” (Pasal 163 ayat 1 dan 2) Kepada Nabi Ibrahim, Allah berpesan: “Dan
(ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat
Baitullah (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu memperserikatkan
sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini untuk orang-orang yang
thawaf, orang-orang yang berdiri, rukuk dan sujud’.” (22:26)
6). Janji yang ke-lima: perintah menunaikan
zakat. Kalau salat ialah kewajiban keagamaan yang jatuh pada diri (jiwa
dan raga), maka zakat ialah kewajiban keagamaan yang jatuh pada harta.
Kesempurnaan jihad (kesungguhan beragama) hanya akan tercapai apabila melibatkan kedua ibadah ini: diri dan harta, salat dan zakat. “Orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.”
(9:20) Salat dan zakat jarang disebut terpisah dalam al-Qur’an,
menunjukkan bahwa keduanya memiliki peran yang sama substansialnya.
Keduanya juga sudah disebutkan tersendiri di awal kisah Bani Israil ini,
yaitu di ayat 43.
Kelima isi perjanjian tersebut merupakan prinsip-prinsip penting di
dalam agama samawi. Nabi Musa diutus karena prinsip-prinsip itu sudah
ditinggalkan umat nabi sebelumnya. Sayangnya, sepeninggal Nabi Musa,
umatnya pun mengulangi kembali jejak umat-umat sebelumnya, yakni merusak
ajaran agama sendiri: “(Tetapi) kemudian kalian berpaling (dari janji tersebut) kecuali sebahagian kecil dari kalian, dan kalian (memang selalu) ingkar”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar